Halo ibu-ibu… apa kabar? Adakah yang sedang bergelut dengan episode dramatis bernama menyapih anak? Jika iya, mungkin cerita saya ini bisa menjadi bahan penyemangat dan penguat hati dalam proses menyapih buah hatinya. Dua kali menyapih anak, tentu ceritanya berbeda. Bukan sekedar karena anaknya beda karakter, tapi juga pengalaman saya juga bertambah.
Cerita menyapih anak pertama bisa dibaca disini: GANESHA’S ‘BYE BYE NENEN’ MOMENT…
Dan waktu itu… 3 tahun lebih dari masa itu; saya memutuskan untuk menyapih anak kedua saya, Mahesh, yang saat itu berusia 2 tahun 3 minggu. Sebuah keputusan yang sebenarnya berat bagi saya walaupun Mahesh sudah berusia 2 tahun lebih. Namanya juga ibu melankolis… Mendengar anak saya kala itu selalu menolak setiap saya tanya, “…Adek, Adek kan sudah gede, ga usah nenen lagi ya…” jelas saya belum sampai hati untuk menyapihnya. Ya, mungkin saat ini saya masih menyusuinya, seandainya tidak mendapat panggilan mengikuti diklat selama 2 minggu lamanya. Yang 3 hari 2 malam di antaranya mengharuskan saya menginap di tenda, tanpa komunikasi dengan dunia luar. Mau tidak mau, saya harus menyiapkannya, karena Mahesh memang sudah tidak minum ASIP sejak sebulan terakhir. Dan nenen baginya lebih untuk sekedar mencari kenyamanan psikologis.
Lebih dari 1 tahun yang lalu, saya pernah mengundurkan diri dari diklat yang sama dan meminta penundaan semaksimal mungkin. Jadi, saat akhirnya dipanggil kembali, hati pun berkata bahwa saya harus berusaha kali ini. Apalagi anak saya sudah berusia 2 tahun lebih, sudah bisa disapih. Jadi, rasanya saya harus mencoba dulu, daripada begitu resisten dan langsung menolak.
Cerita tentang dilema saya sebagai ibu bekerja bisa dibaca disini: JALAN TENGAH YANG TIDAK BERTEMU.
Singkat cerita, sekitar seminggu sebelum jadwal diklat, saya mulai mengajak Mahesh memasuki babak baru dalam proses menyapihnya. Karena, sesungguhnya proses sounding sudah saya lakukan sejak usianya mendekati 2 tahun. Pada saat Mahesha menyusu, seringkali saya ajak mengobrol, “Adek… Adek kan udah gede, udah mau 2 tahun umurnya… Nanti, kalo udah 2 tahun, Adek ga nenen lagi ya…” Terus dan terus, dengan variasi kata yang berbeda. Kadang saya tambahkan, “…biar Adek makin pinter, bisa sekolah kaya Kakak…” Atau, “Adek pasti bisa, dulu… Mama, Papa, Kakak juga nenen, tapi pelan-pelan bisa kok ga nenen lagi…” dan sebagainya.
Hingga, saya ingat betul, hari itu Hari Kamis (09-02-2017), saya mulai berusaha lebih keras mengalihkan perhatiannya setiap kali ingin menyusu dengan kegiatan lain. Termasuk pada saat dia ingin tidur malam, saya menawarkannya untuk bobo gendong jalan-jalan. Awalnya, tentu dia masih saja ingin nenen yang tentu saja menguji keteguhan hati saya. Tapi dengan juga menguatkan diri, kembali lagi saya coba memberi pengertian, “Adek… kita coba ya bobo-nya ga usah nenen ya… Mama gendong aja yuk! Adek pasti bisa! Kita coba sama-sama ya…” Dan kemudian saya menggendongnya dengan kain, mengajaknya keluar rumah melihat bulan dan cicak, hingga akhirnya dia semakin mengantuk, minta dinyanyiin dan tertidur.
Fiuhh, lega sekali Kamis malam itu acara menidurkan Mahesh berhasil kami lewati tanpa nenen. Dalam hati, tentu saja terbersit rasa haru dan sedih, serta juga rasa bangga dan kekuatan, melihat Mahesh pun berusaha menguatkan dirinya sendiri. Saya berjanji akan menguatkan diri juga dan membantu Mahesh melewati proses ini, dengan menunjukkan lebih banyak cinta dan juga konsistensi. Iya, karena seperti proses mendidik apapun, menyapih pun butuh konsistensi. Sikap kadang-kadang boleh, kadang-kadang tidak, hanya akan membingungkannya dan membuatnya lebih tersiksa karena berharap.
So? This is it? Inikah kali terakhir Mahesh menyusu? Dan jawabannya adalah ‘tidak’… Malamnya, Mahesh terbangun ingin menyusu dan dengan pertimbangan singkat, saya pun memenuhi keinginannya dengan alasan waktu itu posisi Mahesh sedang setengah sadar. Jadi, meskipun alam bawah sadarnya merekam hal ini, alam sadarnya kemungkinan besar tidak akan menyadarinya dan saya masih bisa melanjutkan penguatan esok hari. Atau sederhananya, dia ga akan ingat kejadian malam itu, tidak akan mempengaruhi pemahaman yang sudah dimilikinya saat sadar bahwa dia harus belajar untuk tidak nenen lagi. Serta juga, dari sisi saya, ini untuk mengurangi efek payudara yang penuh karena air susu yang tidak dikeluarkan. I think it’s OK for both of us…
Dan benar saja, Jumat (10-02-2017) pagi dia terbangun, dia tidak serta merta meminta nenen seperti biasanya. Yang mungkin juga efek dari pujian dan semangat heboh yang kami kami berikan begitu dia membuka mata pagi itu. “Papa, Adek hebat lho! Semalem bobo-nya ga nenen lagi! Kan Adek udah gede ya…” kata saya pura-pura menceritakan kehebatan Mahesh pada papanya. And it works… Memang, Mahesh masih terucap, “Adek mau nenen…” tapi, sudah lebih mudah dialihkan pada aktivitas lain. Dan pagi itu pun, saya berangkat ke kantor tanpa sebelumnya menyusui Mahesh, alhamdulillah…
Demikian juga pada saat saya pulang kerja, Mahesh tidak lagi langsung minta nenen seperti sebelumnya. Dia sibuk mengajak saya main ini dan itu. Disitu terlihat sekali kalau dia pun berusaha untuk tidak meminta nenen, dan kalau pun akhirnya dia minta nenen, dia lebih mudah diberi pengertian, ditenangkan dan dialihkan dengan kegiatan lain. Sampai akhirnya tiba waktunya Mahesh mengantuk di malam hari tentu saja. Saat seperti ini, memang membutuhkan usaha ekstra untuk mengalihkannya dari keinginan untuk menyusu. Mahesh memang tidak sampai menangis, palingan, dia berkata, “Adek mau nenen…” beberapa kali. Namun saat saya kemudian menggendongnya, (masih dengan tema yang sama) keluar melihat bulan dan cicak, perhatiannya pun teralihkan. Lama kelamaan ngantuk, minta dinyanyiin dan tidur… Good job Le!
Nah, tantangannya adalah pagi dini harinya saat dia terbangun dan minta nenen. Waktu itu, dengan mengumpulkan semua kesadaran dan kekuatan; saya pun menggendongnya dan berkata, “Adek kan sudah gede, minum air putih aja ya… digendong sama Mama…” Yang, dia sambut dengan suara ngotot dan marah, “Adek maunya nenen!” lalu menangis. Ya, saya memakluminya, waktu terjaga di malam hari seperti ini, alam bawah sadarnya yang lebih banyak bekerja. Dan kebiasaan dan keinginan nenen tentu lebih kuat tertancap dalam ingatannya, daripada ingatan bahwa dia sudah gede dan harus berusaha untuk tidak nenen lagi.
Mahesh terus menangis, tantrum, menegangkan badannya tidak mau digendong meminta nenen. Dan dengan sedih (tapi harus kuat), saya pun berkata, “Adek, Mama juga sedih… Tapi kita harus belajar Adek… Kita pasti bisa! Adek minum air putih ya…” Terus dan terus, waktu terasa berjalan lama, hingga akhirnya dia berhenti menangis, minta air putih dan tidur dalam gendongannya. Yang ternyata semua itu hanya berlangsung selama kurang lebih 15 menit saat saya melirik ke arah jam dinding. Iya, waktu yang terasa begitu lama itu, ternyata hanya 15 menit saja. Dalam 15 menit, Mahesh bisa menenangkan dirinya, dan itu semakin membuat saya merasa yakin bahwa dia adalah anak yang hebat. Dia pun berusaha keras untuk menyapih dirinya sendiri, dan karena itu, saya pun harus lebih bersemangat meyakinkannya kalau kami berdua bisa. Semangattt!
Dan akhirnya, sejak Jumat malam itu, Mahesh resmi tidak nenen lagi hingga seterusnya. Beberapa hari berikutnya, sampai dengan sekitar 3 minggu, beberapa kali dia bilang, “Adek mau nenen…” Tapi, saat saya kemudian berkata, “Eit, Adek kan udah gede, jadi enggak nenen lagi…” dia pun tidak meminta lagi. Terkadang berkata, “Inum ai utih aja ya…” dan kemudian minum air putih. Yes, he’s my son! Saya benar-benar bangga padanya. Bangga dan terkagum-kagum! Karena sebelumnya, saya selalu berpikir bahwa proses menyapihnya akan jauh lebih sulit dari Kakaknya melihat perangainya yang ngotot-an dan sulit mendengarkan pendapat orang lain. Dalam hal ini saya jelas salah menilainya. Dia mungkin memang ngotot-an dan keras kepala, tapi (sepertinya) dia juga dibekali dengan willing yang kuat dan kesadaran untuk mengendalikan hal itu. Dia benar-benar membuktikannya dalam proses ini.
Termasuk bagaimana usahanya untuk terlelap dengan berbagai cara tanpa nenen. Kadang minta dikelonin dan baru tertidur setelah gulang-guling kesana-kemari beberapa lama. Kadang minta dinyanyiin; dari lagu Dusty sampai Skipper yang harus saya karang sendiri. Atau minta dipeluk pada saat kami sedang dalam perjalanan. Ya, baginya menyusu adalah cara untuk menenangkan diri dan tertidur; dan saat dia setuju untuk tidak nenen lagi, dia harus mencari cara baru dan beradaptasi.
Berdasarkan pengalaman saya ini salah satu insight yang saya dapatkan adalah untuk tidak sekali pun menganggap remeh kemampuan anak kita. Kadang, sebagai seorang ibu, kita memiliki begitu banyak ketakutan yang berasal dari rasa sayang yang begitu besar. Yang membawa kita takut membuatnya sedih, apalagi menyakitinya. Ketakutan itulah yang kadang membuat kita tidak memberi anak kesempatan untuk mengaktualisasikan potensinya. Untuk itu, terkadang kita harus memberinya kepercayaan, meski kita pun harus menguatkan diri untuk itu. Sebagaimana saya berusaha menguatkan diri untuk percaya bahwa Mahesh sudah besar dan bisa lepas dari nenen.
Dalam hal ini, saya pun tidak menggunakan cara seperti mengoleskan sesuatu ke puting, menempelkan plester dan sebagainya. Karena bagi saya, momen menyapih justru adalah salah satu kesempatan kita untuk mendidik anak; untuk mengendalikan keinginannya serta berkomitmen. Menurut pendapat saya; saat kita menyapih dengan ‘berbohong’, anak justru akan mengalami dilema antara keinginannya untuk menyusu dan rasa tidak suka karena putingnya terasa pahit. Sementara dengan memberikan penjelasan dan penguatan (tanpa berbohong), justru kita membantunya untuk menemukan insight dan keyakinan untuk menyapih dirinya sendiri. Jadi, ya, secara pribadi saya lebih merekomendasikan cara menyapih ini. Lebih lagi dalam pengalaman saya menyapih dua orang anak, saya membuktikan bahwa pikiran bahwa setiap anak pasti rewel, tantrum dan mati-matian menolak untuk disapih; atau bahwa proses ini akan jauh lebih berat daripada dengan menggunakan brotowali dan sebangsanya… menurut saya, itu hanya mitos!
Demikian menurut pendapat dan pengalaman saya… Tapi tidak berarti saya tidak respek pada ibu-ibu yang memilih cara yang saya sebutkan di atas. Just another point of view, only follow it when you’re agree. If not, then respect it ;)
Nah, kemudian, untuk proses menyapih sendiri, berikut langkah-langkah yang kami lakukan:
- Sounding untuk memberikan pemahaman dan pengertian bahwa dia harus berpisah dengan nenen, apa alasannya, hal menyenangkan apa yang bisa dilakukan tanpa nenen, dan sebagainya. Tentu dengan bahasa sederhana yang mudah dipahami anak dan jauh-jauh hari, sebelum memulai untuk mengurangi frekuensi menyusui dan sebagainya.
- Pilih waktu yang tepat, yaitu waktu dimana anak cukup rileks dan stabil. Jangan menyapih saat anak menghadapi kondisi berat; seperti saat sakit, dalam perjalanan jauh, pindah rumah, ganti pengasuh, dan sebagainya.
- Beri dukungan psikis. Berikan cinta dan perhatian yang lebih supaya anak merasa lebih tenang, serta percaya pada kita dan bahwa keadaan akan baik-baik saja.
- Hindarkan benda-benda atau situasi-situasi yang membuatnya teringat pada momen menyusui; misalnya kamar, baju daster, dan sebagainya.
- Pandai-pandai mencari kegiatan untuk mengalihkan perhatian saat anak ingin menyusu. Misalnya bermain, lihat bulan, lihat cicak, lihat burung, lihat ikan, dan sebagainya :D.
- Percaya pada diri sendiri dan anak, bahwa berdua akan mampu melewati masa ini. Ingat, percaya potensi anak, never underestimate them!
- Konsisten tapi jangan mendadak! Jangan tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba kita menghentikan proses menyusui. Tapi bukan berarti kemarin boleh, sekarang tidak boleh dan seterusnya; karena hanya akan menyiksa anak dan memperlama proses menyapih.
**Whoa, nyaris 1700 kata! Saatnya kalimat penutup sebelum semua bosan membaca ocehan saya :D**
So, kira-kira itulah insight dan lesson learned apa yang saya dapatkan dari episode menyapih anak kedua saya ini. Terima-kasih sudah membaca, semoga bermanfaat… dan happy parenting ;).
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Salam kenal mba.
ReplyDeleteSaya rencananya bulan depan akan mulai menyapih. Terima kasih sudah berbagi..semoga bisa sukses spt mba.
Amiin.. insyaallah.. Semangat.. semangatt :)
Deletealhamdulillaah. terharu ya mbak. kadang setelah itu kita sendiri yang kangen menyusui. ada rasa istimewaaa gitu saat menyusui.
ReplyDeletedua anak saya juga sapih tanpa drama. yang pertama sapih sendiri karena saya hamil lagi dan asi mengering. yang kedua sudah 2 tahun lebih, disapih dengan cara diajak bicara dari hati ke hati, alhamdulillaah langsung paham.
setuju mbak, tanpa membohonginya juga bisa.
Iya.. kadang beberapa langsung berpikir bahwa anak susah paham masalah seperti ini dan menganggap berbohong itu jalan pintas..
DeleteTapi kalau menurut pengalaman saya, dengan (henya) memberikan pengertian, anak mudah kok disapih.. :)
Halo mbak, salam kenal.
ReplyDeleteBulan ini saya juga menyapih anak. Doain lancar ya mbak, makasih sharingnya :)
Whoa.. amiiin.. semoga lancarr.. yang penting, sounding terus dan sabarrr.. :)
DeleteSama-sama, semoga bermanfaat sharinya ;)
WIi nulis 1700 kata brapa jam itu kak? atau brapa hari mungkin heehe
ReplyDeleteSebenarnya, kalo memang lagi pengen cerita.. malahan ga kerasa itu mbak.. ga nyampe 2 jam :D
DeleteAnakku yang kecil sampai aku bawa ke tukang urut bayi supaya bisa berhenti nenen padahal umurnya sudah 3 tahun. Sudah dipakai segala cara tapi gagal akhirnya ke pijat bayi deh
ReplyDeleteCaranya macem-macem ternyata ya mbak.. temenku juga cerita kalo sampe dibawa ke ustadz.. hihi :D
DeleteSecara belum punya pengalaman serupa, agak tidak terpikir sih bagaimana kok mereka bisa membantu proses menyapih.. *.*
Aku bacanya malah mewek sendiri, Mbak. Anakku ini hampir 18 bulan. Rencananya mau aku sapih pas 20 bulan karena bersamaan dengan bulan puasa. Tak bayangin, Ya Allah...sanggupkah diriku ini?
ReplyDeleteCoba sounding ke anaknya dulu mbak.. diliat kayak mana tanggapannya.. bisa dicoba dulu dengan memperjarang menyusu.. yang penting jangan mendadak dan jangan terlalu memaksa ya.. ;)
DeleteTeringat pengalaman nyapih anak saya, usia 2 tahun lebih.. segala cara tapi tetap gak tega krn dia nangis, sampe akhirnya pake cara ngelumurin lipstik... baru deh dia diem, dikiranya berdarah :D
ReplyDeleteHuahaha :D
DeleteHaduh, ini cara yang ga saya sepakati nih :D
Tapi gapapa, kan semua orang punya pendapat masing-masing..
Tetep tosss.. tosss ibu-ibu sayang banget sama anaknya ;)
wow templatenya cakep banget mbak...memang bagian menyapih itu drama banget mbak...iya jangan mendadak. betul banget butuh proses menyapih itu
ReplyDeleteMakasih mbak.. templatenya di coding sama mbak Handriati nih.. gambarnya sama mbak Puty ;)
DeleteTosss.. menyapih ga boleh mendadak.. nanti anaknya bingung dan stress..
Diluar kasus menyapih ini, ada satu kalimat yang benar benar menyentuh mba.
ReplyDelete"Kadang, sebagai seorang ibu, kita memiliki begitu banyak ketakutan yang berasal dari rasa sayang yang begitu besar" dan "Ketakutan itulah yang kadang membuat kita tidak memberi anak kesempatan untuk mengaktualisasikan potensinya"
Saya juga mengalami ketakutan seperti ini ketika berhadapan sama anak yang malas dan nilainya terjun bebas mba..jadi tiap hari bawaannya marah marah mulu nyuruh anak belajar karena takut ga naik kelas. Sekarang saya jadi berpikir, apa saya yang tidak memberi kesempatan anak buat mengaktualisasikan potensinya ya...
Yes, that happen to me mbak..
DeleteSaya merasa cukup berbakat di bidang musik sebenarnya, suara saya lebih dari oke menurut saya *nyombong :D
Tapi, dari dulu, bapak-ibuk maunya saya belajar saja '_'
Memang ga salah sih, toh sekarang saya akhirnya menikmati jadi pekerja kantoran dan ga berminat jadi artis *hahaha, makin ngayal :D
Cuma, kayaknya, menurut pengalaman saya, sebaiknya orang-tua membantu anak menemukan insight-nya sendiri, daripada si anak merasa tertekan..
Beri mereka pilihan.. untuk mengaktualisasikan diri mereka sesuai keinginannya, tapi juga tidak meninggalkan pendidikan formal..
Maheessh kereen.. :D Aku pun lg sounding ke anakku nih mba bentar lagi 2 tahun hihi.. Anak yg pertama sukses gak ada drama, tiba-tiba menyapih sendiri gitu. Kayaknya karena aku hamil adeknya.. :) Nah, yg adeknya kayaknya agak drama nih hehe.. Thanks tips2nya yah mbaa Niaaah :D
ReplyDeleteSama-sama..
DeleteHuhu, enak tuh, kalo anaknya bisa ga mau sendiri.. lebih sedikit drama sepertinya..
Aku nih, nyapih anak keempat saat dia usia 2 th 4 BLN 16 Hari. Awalnya takut-takut. Ternyata gak setakut yang dibayamgkan. Curhatku juga aku tulis. Ini link-nya. http://www.niaharyanto.com/2017/01/balada-menyapih.html
ReplyDeleteHehehe... Mahesh pinteeeeer. :D
Makasih tante Nia.. *Mahesh yang ngomong*
DeleteToss, ternyata menyapih ga semenakutkan bayangan kita ya ;)
Aku pun lg nyapih nih.. kmrn2 sempet berhasil tp gagal lg krn dia sakit dan gak tega klo gak dikasih nenen.. skrg baru mulai lg dan jadi tambah susah.. hahhaa.. semangat!!
ReplyDeleteIyaaa.. tetap semangatttt..
DeleteAlhamdulillah sudah dua kali melewati proses menyapih, yang kedua yang agak susah. Kalo saya pergi luar kota anteng aja dia nggak nyari2 mimik, begitu pulang ya tetep mintak :D
ReplyDeleteAlhamdulillah terlewati ya mbakkkk :)
DeleteHai mba. Aku menyapih dengan alami. Terima kaish sudah berbagi mba :)
ReplyDeleteSama-sama mbak :)
DeleteSounding emang penting mbak, aku sounding anakku sejak dia 1,5 thn dan 2 thn lebih sebulan dia lepas nen :D
ReplyDeleteWuhuu.. good job mbakkk.. selamatt :)
DeleteSebulan lagi nih Mbak, anakku yang kedua berumur 2 tahun. Sekarang sudah mulai berjuang menyapih. Thanks tipsnya. Anakku yang pertama usia 31 bulan baru lepas. Yang kedua ini mau aku cobain usia 24/25 bulan lepas ASI.
ReplyDelete