Sebagai seorang kakak dengan dua orang adik, ‘mengalah’ tentu bukan kata yang asing bagi saya. Setiap kali, terjadi pertengkaran yang terjadi karena kami berebut suatu barang; entah barang itu milik saya atau siapapun, ujung-ujungnya pasti saya yang disuruh mengalah. Dan itu ga enak sekali… Bahkan setelah saya beranjak remaja yang nota bene pemikiran sudah cukup matang. Menahan diri dan membiarkan hak kita diambil orang dan merasa diperlakukan tidak adil itu seringkali terasa menyebalkan.
Mengalah itu seringkali ‘makan hati’, tapi seringkali buahnya manis sekali. Dengan mengalah kita bisa menghindari banyak pertengkaran, perpecahan dan sebangsanya. Dengan mengalah, kita bisa menunjukkan kepedulian dan kasih kita pada orang yang kita cintai. Dan bahkan seorang yang mengalah adalah seorang yang terhormat karena kebesaran hatinya… Itu menurut saya sih, berikut ceritanya…
Saya ini hobi bernyanyi. Sejak dulu sekali masih kanak-kanak, hingga saat ini menginjak usia 30 tahun dan sepertinya akan terus berlanjut. Ada kepuasan tersendiri saat saya berhasil menaklukkan lagu-lagu yang menantang atau sebut saja sulit. Dan itu kenapa, selalu ada dorongan besar dalam diri saya untuk tampil di setiap kesempatan yang memungkinkan. I love to perform!
Demikian juga saat ternyata ada sebuah lomba karaoke di wilayah domisili saya (Lampung). Karena sangat memungkinkan untuk diikuti, tidak ada alasan untuk tidak berpartisipasi! Go, go, go! Dengan semangat 45 pun saya mempersiapkan diri, mulai dari nge-tune-in file karaoke sesuai suara saya, memilih kostum, dan latihan tiap hari saya jabanin… Bukan demi kemenangan sih, tapi demi kepuasan batin bahwa saya sudah menampilkan hal terbaik yang saya bisa. Prevent any possible flaws, karena memang saya perefeksionis.
Kompetisi ini memang tidak menyebutkan hadiahnya, it’s fine karena memang sifatnya lebih ke perayaan sebuah hari penting bagi perusahaan yang bergerak di bidang listrik. Dan saya pun memang tidak mempermasalahkan apa hadiahnya, karena ini murni sebuah keinginan untuk mengaktualisasikan hobi dan kemampuan yang saya rasa miliki.
I was having fun preparing all of the things for the competition… Bukan cuma persiapan pribadi saya, tapi juga dua orang peserta lain menjadi wakil dari unit kerja kami.
And it’s still fun and tolerable… selama kompetisi sampai dengan pengumuman yang menyebutkan bahwa unit kerja kami mendapatkan dua juara sekaligus; juara harapan 1 oleh seorang rekan saya dan juara 1 oleh saya sendiri… walaupun jujur saja tempat lombanya lebih mirip ruangan audisi saking sempitnya.
And then, it becomes less fun and tolerable… saat kemudian, saya mendapat informasi bahwa juara harapan 1-nya dianulir dan tidak akan diumumkan pada saat acara puncak. Dengan alasan bahwa tidak ada anggaran untuk juara ke harapan 1. Hmm, yang terlintas dalam pikiran kami (saya dan rekan juara harapan 1), “Kok segampang itu ya, menganulir secara sepihak sesuatu yang sudah diumumkan… tanpa pengumuman resmi pula…” Bagi kami para peserta, ini jelas bukan lagi menyangkut hadiah, tapi harga diri… Well, sedikit sulit dijelaskan dengan kata-kata; coba saja bayangkan, teman-teman sudah kadung senang dan cerita kemana-mana kalau menang suatu lomba, lalu tiba-tiba dianulir begitu saja…
Sampai akhirnya ada sebuah kejadian yang menurut saya sangat fatal… Pada saat penyerahan hadiah, saya mendapat hadiah ini di depan puluhan peserta yang menghadiri acara saat itu…
Tapi, di dalamnya ini nih…
Sebuah baju lengkap dengan labelnya yang jelas tertera angka Rp. 169.900,-Kejadian yang waktu itu tidak terlalu menimbulkan perasaan macam-macam, karena saya masih berpikir bahwa mungkin itu hanya penyerahan secara simbolis dan cash-nya harus diminta kepada panitia. Saya saja yang saat itu tidak segera membuka bungkus hadiahnya sehingga tidak bisa segera mengkonfirmasikan hal ini.
Saya pikir ini hanyalah teknis pemberian hadiah yang tidak saya ketahui and it will fixed soon…
Tapi ternyata saya salah, betapa kesalnya saya saat panitia yang saya hubungi pertama bilang bahwa hadiahnya berupa barang seharga Rp. 500.000,-… Whattt!!! Langsung saja saya komplain, “Maaf ya Pak, di bajunya itu masih ada labelnya Rp. 169.900,-”
Dan saya pun tentu saja tidak bisa terima penjelasan ini… Lalu bertanya kepada panitia lain, yang akhirnya dijawab, bahwa itu kesalahan teknis. Bahwa tulisan di pembungkus hadiah itu adalah cetakan lama. Bahwa awalnya memang akan diberikan hadiah senilai itu, tapi manajemen berubah pikiran… and they say sorry… That’s all…
Puas? Tentu saja belum… Sesungguhnya saya ingin memastikan bahwa kejadian ini sampai ke ketua panitia atau penanggung-jawabnya. Saya sebenarnya menuntut ada pengumuman resmi bahwa ada kesalahan pemberian hadiah. Atau paling tidak ada permintaan maaf yang lebih manusiawi, dari sekedar melalui whatsapp. Dan saya menunggu semua itu selama seminggu penuh…
Tapi, selama seminggu penuh, sama sekali tidak ada kabar… paling tidak apa tanggapan dari ketua panitia atau penanggung-jawabnya. Sungguh saya kesal, ingin rasanya mengembalikan hadiah yang mereka berikan, lengkap dengan pembungkusnya…
Tapi saya tidak melakukan itu. Saya mengalahkan ego saya akan kejadian itu. Yah, sudahlah, toh mereka saya anggap masih saudara atas dasar hubungan kerja profesional kami. Meski, jujur, saya tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa mengorbankan sebuah reputasi dalam permasalahan ini. Mengapa mereka tidak mempertimbangkan nama baik mereka yang mungkin akan semakin buruk atas kejadian ini? Kalau saya jadi mereka, saya tidak akan semudah itu dan sesepele itu menanggapi permasalahan menyangkut kepercayaan semacam ini. Oh really, kamu tidak berpikir apa yang akan orang pikirkan atas peristiwa ini? Bisa jadi lho, orang berpikir ini adalah sebuah kesengajaan dan karena apes saja si label lupa di lepas; atau berbagai skenario lainnya yang merugikan nama baik kalian. Walaupun sebenarnya, penjelasan dan cara meng-handle komplain kalian pun sesungguhnya sudah cukup memperburuk citra kalian.
Apa kalian pikir, saya yang dirugikan dalam permasalahan ini akan repot-repot membela nama baik kalian dengan tutup mulut atau memberikan klarifikasi bahwa ini kesalahan teknis yang harus dimaklumi?
Of course not! Saya punya hak, untuk menceritakan kejadian sebenarnya kepada teman-teman dan manajemen unit kerja saya. Sama persis seperti penjelasan yang kalian berikan, lengkap dengan buktinya. Bukan untuk memberikan hukuman, tapi untuk meminimalisir rasa diperlakukan tidak adil yang saya terima. Itu kenapa terakhir, saya bilang, “…Sebenarnya kedua belah pihak sudah dapat konsekuensinya kok… Saya udah ikhlasin…”
Ya, kedua belah pihak sudah mendapat konsekuensinya. Konsekuensi untuk panitia yang melakukan kesalahan teknis namun tidak meng-handle komplain ini dengan serius adalah reputasi yang memburuk; di mata orang-orang yang mengetahui kejadian ini. Dan yang terpenting adalah di mata saya…
Dan konsekuensi untuk saya adalah… Saya merasa bangga dengan diri saya sendiri, karena saya adalah si tangan di atas yang memaafkan keteledoran mereka, bahkan saat mereka tidak serius merasa bersalah. Dalam kejadian ini, saya merasa adalah orang yang lebih berkelas dari mereka. Dan saat harus bertemu, berpapasan atau berhubungan dengan mereka; saya adalah seorang yang pantas membusungkan dada, terlepas dari mereka merasa sebaliknya atau tidak.
Saya benar-benar merasakan semua itu pada saat situasi mempertemukan kami kembali… Aaah, untung saja saya memilih untuk mengalah dan menurunkan ego saya. Karena jika tidak, mungkin sayalah yang berada pada posisi mereka. Siapa yang tahu bahwa mereka justru menganggap saya hanya meributkan uang 500 ribu? Tidak bisa memaklumi kesalahan, ribet dan sebagainya… meskipun saya memang berhak untuk itu… Dengan mengalah, jelas saya menutup kemungkinan itu. Saya memenangkan situasi ini dengan mengalah…
Jadi teman-teman, pelajaran yang saya dapat dari peristiwa ini adalah pada saat kita diperlakukan tidak adil dan dirugikan, tetap utamakan untuk menyampaikan komplain with manner; dengan tata krama yang seharusnya. Jangan biarkan kita justru mendapat kerugian yang lebih besar dengan mengorbankan reputasi kita dengan tindakan yang kasar secara sikap dan verbal. Dan jika pihak yang berseberangan dengan kita adalah rekan kerja atau pihak yang akan sering berhubungan dengan kita, mengalah adalah tindakan yang bijak. Karena hal ini justru akan menaikkan reputasi kita satu level di atas mereka. Dan hal ini tentu akan sangat menguntungkan saat kita harus berinteraksi dengan mereka, karena kita akan merasa lebih percaya diri serta terhormat. Dan mereka pun (mungkin) tidak kehilangan rasa simpati dan hormatnya pada kita.
Iyah, paling tidak itu menurut pengalaman dan pendapat saya… Dan tentu saja, ini dalam kasus yang masih dalam ambang batas toleransi. Mungkin lain cerita kalau ini adalah sebuah lomba tingkat regional yang diumumkan lewat media massa, dengan hadiah jutaan rupiah, haha :D. Pasti saya akan terima begitu saja dengan penjelasan dan permintaan maaf seperti itu.
Bagaimana menurut teman-teman?
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Kelewatan yah, kenapa nggak diganti aja labelnya atau tulisan 500 ribunya yang diganti, kan nggak ada yg sakit hati. Tapi semua ada hikmahnya ya Mba', salam kenal.. :)
ReplyDeleteIya, betul banget mbak.. seandainya saja tulisan itu ditutup aja dengan kertas putih, saya ga akan mempermasalahkan kok..
Delete*salam kenal juga mbak :)
yaelah gitu amat sih jawabannya, ngeles apa gimana ituh, duhh
ReplyDeletetp selamat ya mbk, mbak sdh 'naik kelas', krn mengikhlaskan sesuatu yg seharusnya jd hak kita itu, nggak gamfang, salut
Iya.. makasih mbak Inda.. :)
Deletemudah-mudahan ke depannya mereka ndak melakukan kesalahan yang sama, mbak udah melakukan hal yang tepat
ReplyDeletesalam,
syanu