Setiap anak adalah unik! Mereka memiliki karakter dan potensinya masing-masing, dimana hal ini menjadi alasan mengapa suatu treatment memiliki efek yang berbeda bagi setiap anak. Dan itu juga alasan mengapa suatu sistem pembelajaran belum tentu sesuai untuk semua anak. Apalagi pada usia dini, dimana anak-anak belum mampu menyiasati sistem pembelajaran yang diterima hingga terasa menyenangkan bagi mereka.
Teringat dulu semasa kuliah ada teman yang sampai merekam kuliah dosen di kelas, sedang saya lebih asyik membuat catatan dengan corat-coret dan gambar-gambar. Sementara teman saya lebih suka mendengarkan, sampai-sampai merekam kuliah dosen di kelas. Bagi saya, mendengarkan saja itu selalu membuat ngantuk, walaupun selalu duduk di barisan paling depan sekalipun :D
Dan kembali ke pendidikan untuk anak usia dini… Anak-anak pasti belum bisa melakukan semua itu… Mereka baru mampu menerima dan mengikuti metode pembelajaran yang diberikan. Jika cocok, maka mereka akan belajar dengan gembira. Namun jika tidak, proses pembelajaran pun tidak akan optimal dan suasana hati (mood)-nya pun akan memburuk karena harus mengikuti rutinitas yang tidak menyenangkan baginya.
***
Sekolah Formal untuk Anak Usia Dini. Membicarakan mengenai pendidikan bagi anak usia dini (sebelum usia Sekolah Dasar), sebenarnya tidak melulu pada pendidikan formal dengan jenjang tertentu yang diberikan sebuah lembaga pendidikan, seperti Taman Kanak-Kanak. Tapi, juga termasuk di dalamnya pendidikan yang diberikan di rumah oleh orang-tua atau pun pengasuh lainnya dan juga lingkungan. Misalnya untuk pendidikan nonformal adalah Kelompok Bermain atau Taman Penitipan Anak, sedang untuk pendidikan informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan (berdasarkan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003).
Saya pribadi pada awalnya tidak terlalu sependapat bahwa anak perlu masuk ke sekolah formal sedini mungkin (usia 2 atau 3 tahun). Alasannya sederhana saja, karena menurut saya anak seusia itu belum selayaknya menjalani rutinitas yang begitu formal setiap harinya dan kehilangan waktu bermainnya. Tapi, saya juga kurang setuju jika anak didaftarkan sekolah namun sepenuhnya dibebaskan untuk tidak masuk sekolah. Menurut saya seakan memberikan pemahaman bahwa sekolah itu boleh sesuka hati, mau berangkat atau tidak. Selain tidak mendidik, tentu saja tidak ekonomis, karena bayarnya jalan terus… :D
Namun demikian, saya juga bukannya antipati dengan sekolah formal/nonformal pada usia dini. Jika anak ternyata sudah memiliki keinginan untuk masuk TK atau bahkan Nursery Class atau Kelompok Bermain (Kober) pada usia yang lebih dini. Selama itu murni keinginan anak dan tanpa paksaan, tidak masalah… Karena kami percaya bahwa setiap anak memiliki karakter dan potensinya masing-masing, sekaligus kami juga tidak menutup mata bahwa pendidikan yang kami berikan di rumah dan lingkungan sudah mencukupi kebutuhannya. Misalnya anak ternyata sudah merasa bosan dengan kegiatan yang kami berikan selama bersamanya setiap harinya, ya salah satu solusinya adalah mengenalkannya pada sekolah formal. Karena selain memberikan tantangan yang lebih, tentu juga bisa menjadi pemecah rutinitasnya sehari-hari. Jika sebelum sekolah, dari siang hingga sore kegiatannya hanya bermain (baik sendiri atau bersama teman-temannya) dan melihat kesibukan orang-tua atau pengasuhnya membereskan rumah dan mengurusi adiknya; dengan sekolah waktu 2,5 jam untuk bernyanyi bersama teman-temannya, mewarnai dan aktivitas-aktivitas lainnya; itu akan sangat-sangat mengurangi kebosanannya. Dan itulah yang terjadi pada anak kami…
Saat itu, Bulan Februari 2015, beberapa hari setelah adiknya lahir, Ganesh pun bersikukuh ingin bersekolah. Hal yang sangat kami pahami alasannya, yaitu karena dia merasa bosan di rumah, lebih terabaikan karena kami semua sibuk mengurusi adiknya, sedang mau bermain keluar pun dia belum memiliki teman karena kami baru saja pindah rumah. Sangat terbayang betapa berat situasinya saat itu :(. Dan karena memang keadaan sedang begitu hectic sehingga kami tidak bisa memfasilitasi kebutuhannya akan kegiatan yang menyenangkan di rumah, kami pun setuju untuk mengenalkannya dengan sekolah pertamanya (waktu itu di kelas Kober). Dan selama satu tahun (6 bulan di kelas Kober dan 6 bulan di kelas Satuan PAUD Sejenis/SPS) dia pun dia pun menikmati hari-harinya di sekolah pertamanya, sampai akhirnya dia mogok sekolah…
Ya, Ganesh mogok sekolah setelah 6 bulan masuk kelas SPS… Ada apa? Dan kami pun sesungguhnya tidak tahu pasti, tapi dugaan kami adalah karena dia tidak lagi menikmati sekolahnya. Karena menurut guru-gurunya, tidak ada kejadian spesifik tertentu (misal sering diusilin temannya) dan Ganesh memang terlihat bosan di kelasnya; dia seringkali pindah ke kelas lain sesuka hati dan tidak mengikuti kegiatan yang diberikan. Sepertinya dia membutuhkan suasana yang berbeda untuk membuatnya betah dan terhibur di kelas. Sampai akhirnya setelah kurang lebih dua bulan diam di rumah saja dan terlihat semakin bad mood, akhirnya saya pun mengambil cuti untuk mengenalkannya pada sekolah baru. Yang sekolah kami pilih dengan segala pertimbangan dan kehati-hatian, agar tidak hanya memberikan pendidikan yang baik, tapi juga supaya Ganesh senang dan mood-nya sehari-hari terjaga.
Karakter Anak dan Sekolah yang Pas Untuknya. Dan proses memilih ini pun dimulai dengan berusaha menyelami karakter Ganesh sedalam-dalamnya (sedikit lebay karena tidak menemukan diksi yang lebih pas :D). Kembali lagi, karena setiap anak adalah unik, sehingga perlu disesuaikan dengan tipe pembelajaran yang akan diberikan. Apalagi untuk anak-anak yang cukup kritis dan sedikit ‘rebel’ seperti Ganesh, dimana mereka cenderung tidak ingin mengikuti suatu kegiatan yang menurutnya tidak ‘menyenangkan’. Dengan membandingkannya dengan diri saya sendiri yang cenderung mengikuti standard lingkungan yang ada sejak kecil, anak seperti Ganesh membutuhkan alasan yang lebih dari sekedar ‘dia memang harus bersekolah’. Atau pemikiran bahwa di sekolah dia harus mengikuti kegiatan yang ada, mendengarkan nasehat guru, bla-bla-bla… Jika, semua itu tidak menyenangkan atau memberikan manfaat (menurutnya), kenapa harus?
Itu sih bayangan saya saja atas pola pikir Ganesh dengan memperhatikan perilakunya yang sejak kecil selalu bertanya, “Soalnya apa?” jika disuruh melakukan sesuatu…
Kembali ke Ganesh… Ya, menurut saya dia anak yang cukup kritis. Sejauh ini, dia menunjukkan karakter kepribadian ‘merah’ yang sangat kental. Dia seorang anak yang visioner, penuntut dan desicive plus sangat menyukai aktivitas fisik. Sehingga, kami berpikir bahwa dia memerlukan tipe pembelajaran yang bisa mengakomodir sisi ini. Sekolah dengan kelas yang cukup kecil dan pengajar yang memadai, sehingga bisa memberikan perhatian yang lebih dan menjawab pertanyaan-pertanyaan ‘printilan’ yang mungkin diajukannya. Plus juga untuk mengakomodir sifat suka iseng, suka usil dan suka aktivitas fisik.
Sempat terpikirkan untuk mengenalkan Ganesh dengan sekolah dengan aktivitas fisik yang dominan (bayangan kami seperti sekolah alam), namun kami urungkan. Kami sependapat bahwa Ganesh akan mampu mengendalikan dirinya asalkan menemukan alasan yang bisa diterimanya. Dengan demikian Ganesh bisa berlatih untuk lebih tenang, mendengarkan orang lain dan mengikuti norma lingkungan yang (mungkin) tidak sesuai dengan keinginannya. Sehingga kami pun sepakat untuk mencari sekolah dengan karakteristik: kelas kecil, pengajar memadai, seimbang antara aktivitas fisik dan non-fisik, kegiatan variatif dan menyenangkan untuk anak-anak dan pengajar mampu memberikan jawaban yang logis atas pertanyaan anak.
Mencari Sekolah Sesuai Kriteria. Kriteria sekolah yang kami inginkan sudah ada, kemudian tugas selanjutnya adalah mencari daftar sekolah sesuai kriteria itu di luar sana. Sesuatu yang awalnya terdengar sulit, tapi ternyata tidak karena kemudahan akses saat ini. Hanya dengan bertanya pada beberapa teman, browsing dan membaca selebaran yang sengaja disebar untuk tujuan promosi; daftar pun tersusun. Selanjutnya tinggal memperkecil daftar itu sampai akhirnya mendapatkan satu sekolah yang akan menjadi tempat belajar Ganesh berikutnya.
Selanjutnya, setelah daftar menjadi semakin sedikit dengan mempertimbangkan berbagai faktor (termasuk keterjangkauan lokasi dan biaya), kami pun datang ke sekolah untuk melihat sendiri fasilitas yang ada dan bertanya lebih lanjut tentang proses pembelajaran. Total, ada tiga sekolah yang kami datangi, dua cuma mengintip dari luar karena libur dan satu lagi benar-benar datang, melihat ruang kelas dan bertanya dengan staff marketing tentang teknik pembelajarannya. Termasuk bertanya, “Kalau anaknya belum bisa diam mengikuti kegiatan gimana ya?” untuk memastikan :D. Dan alhmadulillah jawabannya cukup membuat tenang, sehingga saya cukup optimis Ganesh akan senang dengan sekolah barunya. So, saya pun mendaftarkan Ganesh untuk kelas trial selama dua hari untuk memastikan…
Ganesh di Mulai Sekolah. Cukup deg-degan juga pada saat mengantar dan menunggui Ganesh ikut kelas trial; khawatir kalau Ganesh tidak merasa senang, kemudian menolak ikut kegiatan hingga tantrum. Iya, hari pertama dan kedua trial saya meminta ijin untuk menunggu di depan kelas. Memastikan Ganesh happy-happy di dalam sana, sambil beberapa kali mewek saat melihat Ganesh mengikuti kegiatan dengan gembira. Alhamdulillah, dia terlihat senang dan bersemangat dengan sekolah barunya, sampai-sampai dia yang tidak sabar menunggu kabar dari sekolah mengenai hasil observasi apakah dia sudah boleh bergabung atau belum. Bagian ini saya ikut-ikutan gelisah semacam menunggu pengumuman SPMB semasa akan kuliah dulu, khawatir Ganesh belum bisa masuk ke sekolah impiannya, padahal dia sudah begitu bersemangat…
Yang untungnya kekhawatiran saya tidak terwujud… dua hari kemudian kami dihubungi pihak sekolah bahwa Ganesh bisa bergabung, meskipun saat itu adalah tengah tahun ajaran. Dan tanpa ba-bi-bu, siang itu juga kami datang ke sekolah untuk menyelesaikan proses administrasi, fitting baju dan paginya langsung datang sebagai siswa. Alhamdulillah, dia akhirnya menemukan sekolah yang membuatnya gembira dan bersemangat; selain juga tentu saja menambah pengetahuan dan ketrampilannya :). Walaupun, ini sebenarnya belum happy end sih, karena butuh waktu selama sekitar dua minggu hingga akhirnya Ganesh bisa beradaptasi sepenuhnya dengan kegiatan di dalam kelas (berdasarkan laporan gurunya setiap hari).
***
Bagaimana Ibu-Ibu? Dari cerita kami, rasanya cukup panjang ya… Tapi, sebenarnya ga juga kok. Jika diringkas, untuk menentukan sekolah yang cocok untuk anak kita perlu melakukan langkah sebagai berikut:
- Memperhatikan karakter dan potensi anak. Amati perilaku dan respon anak pada lingkungan untuk mendapat informasi ini.
- Menentukan karakteristik sekolah yang diperkirakan sesuai untuk anak. Misalnya tentang teknik pembelajaran yang sesuai, intensifitas pengajar yang dibutuhkan (ada anak yang perlu perhatian ekstra sehingga lebih cocok dengan kelas dengan sedikit murid).
- Membuat list sekolah yang diperkirakan sesuai dengan karakteristik anak melalui media yang ada (website, dari mulut ke mulut dan sebagainya)
- Perdalam informasi mengenai sekolah-sekolah ini bisa dengan berkunjung dan melihat sendiri ruangan kelas dan fasilitas; serta jangan lupa cari tahu dari pengajar atau bagian marketing sekolah mengenai kurikulum, teknik mengajar, dan sebagainya.
- Meminta ijin untuk coba langsung (trial) proses pembelajaran pada anak.
Hanya lima langkah mudah untuk mendapatkan keceriaan dan semangat anak kita untuk berangkat sekolah dan belajar setiap harinya. Serta mood-nya yang terjaga karena dia tidak lagi bosan dengan aktivitas hari-harinya. Benar-benar membawa kelegaan tersendiri… :)
So, that is our story, parents… Semoga bermanfaat :)
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
JAdi punya bayangan gimana nanti kalo baby Kaizu mulai inta sekolah,makasih ya mak sharingnya^^
ReplyDeleteSama-sama Mak.. asli, waktu kecil juga ga ngebayangin kalo masih TK aja milih sekolah sudah tricky begini :D
DeleteGanesh seusia Raissa :) Raissa sbenarny semangat sekolah tapi suka ga pede kalo olahraga atau kegiatan yg menuntut tampil dan saya sebenarnya ga sreg dg bbrp kegiatan sekolah. Mau pindah ke sekolah kakanya ga bisa karena uah full quota, hiks.
ReplyDeleteSemangat Mak.. semoga Raissa segera dapet sekolah yang pas juga Mak :)
Deletejadi kepikiran juga pengen nyekolahin Hamid dimana?? tapi cek-cek..dulu dompet ayah..hahahaah
ReplyDeleteSipp mbak.. harus disesuaikan dengan sumber daya yang ada.. Sekolah bagus belum tentu mahal kok ;)
Delete