‘Sepatu’, seperti halnya jenis pakaian lainnya, pada awalnya
dia hanyalah sebuah benda yang dipakai untuk menutup atau melindungi bagian
tubuh tertentu; supaya tidak sakit jika berjalan dan sebagainya. Tapi, seperti
halnya jenis pakaian lainnya, sepatu pun mengalami transformasi menjadi sebuah
benda fashion; yang tidak hanya
dipilih karena kemampuannya melindungi, tapi juga kemampuannya mempercantik
sepasang kaki. Dan transformasi itu tidak berhenti sampai disitu, seperti
halnya benda-benda lainnya, sepatu pun kemudian bertransformasi lebih lanjut
menjadi benda yang dipilih karena ‘gengsi’; sehingga lahirlah sepatu-sepatu
bermerek ‘wah’ dengan harga yang ‘aduhai’…
Hehe, stop sampai situ sajalah… Saya belum sampai ke ranah
sepatu atau pakaian sebagai barang yang membawa gengsi. Asal sepatu pas, nyaman
dan cantik dipakai, itu sangat cukup… apalagi kalau harganya miring, lebih
bagus lagi menurut saya.
Membicarakan mengenai sepatu, seperti halnya transformasi
pada diri saya, ternyata preferensi pada sebuah sepatu pun berubah, seiring
pertambahan usia dan perubahan pola pikir. Dulu, semasa SD, mungkin adalah masa
tersulit menemukan sepatu atau barang lainnya bagi saya. Tuntutan saya akan ‘keunikan’
itu begitu tinggi! Saat itu, saya menolak mentah-mentah sebagus apapun sepatu
jika itu sama dengan milik teman saya si A, si B dan seterusnya. Ibu saya saja
sampai malas mengantar saya beli sepatu. “Kowe ki mending gawe pabrik sepatu
dewe kok Nian…” ujarnya. Yang artinya, “Kamu tuh mendingan bikin pabrik sepatu
sendiri Nian…”, saking dongkolnya beliau saya ajak muter-muter toko, haha :D.
Lalu, masa SMP dan SMA… hampir tanpa cerita, tidak ada
tanda-tanda perubahan kematangan diri yang tergambar dari pemilihan akan sebuah
sepatu. Lha wong sepatunya disuruh seragam kok, setiap hari ya pakainya sepatu
kets hitam bertali. Titik.
Nah, baru beranjak ke bangku kuliah nih, tanda-tanda
ke-belum-matang-an psikologis nampak dari pemilihan sepatu. Dimana sesungguhnya
mungkin tidak ada yang menyadarinya sih, kecuali diri saya sendiri. Masa kuliah
adalah masa dimana saya ingin menjadi seorang pribadi yang independent, tidak terpengaruh oleh lingkungan, apalagi trend! No way! Saya tidak selemah itu! Itu pikir saya waktu itu. Kadang
lucu jika mengingat saya pernah memiliki pemikiran semacam itu di usia ini
(hampir 31 tahun). Dan kemudian, itu jelas-jelas tercermin dari cara berpakaian
termasuk pemilihan sepatu saya. Saya suka-suka saja memilih dan memakai apa
yang menurut saya bagus, dan bahkan meskipun tidak umum atau nyeleneh! Selama saya
merasa percaya diri, it’s OK! Percayalah, dulu saya pernah jalan-jalan ke mal
dengan celana kolor kotak-kotak yang biasa dipakai buat tidur :D.
Dan kembali ke urusan sepatu atau alas kaki; saat itu saya
nyaman-nyaman saja memakai sepatu kets dengan rok panjang, atau selop… Tidak
terdiferensiasi dan tidak terlalu memikirkan keserasian. Hey, keren itu dari
dalam diri (otak dan hati), tidak perlu terlalu memikirkan penampilan jika kamu
memang punya keduanya, orang akan lihat kok ke-keren-anmu :D. Itulah kepongahan
masa muda saya, dimana sesungguhnya semua itu untuk menyembunyikan rasa tidak
percaya diri saya. Yes, deep inside, waktu itu saya merasa
tidak punya kapasitas untuk bersaing dalam hal penampilan… Jadi, pura-pura
tidak mempedulikannya adalah cara terbaik untuk tetap merasa ‘hebat’. Dasar anak
muda! Tidak mau merasa kalah sama sekali! :D
Tapi, seiring berjalannya waktu, realita pun merubah
keteguhan hati saya; perlahan saya pun menerima pemikiran bahwa penampilan itu
sesuatu yang cukup menentukan penilaian seseorang. Sesuatu yang dulu saya
anggap tidak penting. Tapi akhirnya saya harus mengakui bahwa saya membutuhkan
semua itu saat berburu mencari pekerjaan pasca lulus tahun 2007. Masih dalam
ingatan saya saat bude saya menasehati, bahwa berdandan itu penting, apalagi
saya ini lulusan Psikologi. Ngelamar kerjanya di bidang HRM (Human Resource
Management), jadi ‘wajah’-nya perusahaan. Masa iya perusahaan akan memilih
orang yang tidak terlihat profesional sama sekali? Sangat tidak mungkin kan…
Itu pemikiran yang sangat masuk akal. Saya pun menyerah dan
mulai mengalah untuk mulai memperhatikan penampilan. Karena mendapatkan
pekerjaan dan bisa hidup mandiri itu adalah tujuan jangka pendek yang ingin
saya raih saat itu. Dan saya pun mulai membeli barang-barang yang menurut
pandangan ‘normal’ menimbulkan kesan profesional dan enak dilihat itu. Sebut
saja blazer, rok, lipstick dan pernak-pernik make up lainnya, serta tentu saja
high heels (meski heels-nya cuma 3 cm).
Setelah berkali-kali gagal wawancara dengan penampilan yang menurut saya seharusnya
tidak terlalu dipermasalahkan itu, saya pun mulai mengikuti norma yang ada. Dan
alhamdulillah, akhirnya lolos juga di wawancara yang ke-11 :D. Well, saya tidak bilang kalau semua itu
semata-mata karena penampilan ya, karena saya yakin dari perjalanan 9 bulan
dengan melalui kegagalan 10 wawancara kerja itu membawa saya menjadi pribadi
yang lebih matang dari sebelumnya.
Dan kembali ke sepatu… saat diterima kerja sekitar 7 tahun
yang lalu itu, saya sudah bisa pakai high
heels lho. Meski cuma 3 cm. Dan itu adalah high heels satu-satunya yang saya pakai di tempat kerja selama
sekitar 7 tahun (termasuk prajabatan dan on-the-job-training).
Karena saya mendapat penempatan di pembangkit, yang tidak terlalu ribet soal penampilan, dan juga karena heels 3 cm saya itu pernah nyangkut di
lantai pembangkit yang terbuat dari besi bolong-bolong. Sejak itu, saya pun kembali
menikmati santainya memakai flat shoes
selama bertahun-tahun. Meskipun tidak kembali seekstrim memakai sepatu kets dan
rok ke kantor sih. Bukan karena tidak percaya diri, tapi karena menurut saya
saat itu adalah hal yang terlihat kurang profesional, tidak cantik dan childish (ingat umur)… hihi, betapa pemikiran saya
menjadi lebih dewasa ya :D.
Lalu, setelah hidup yang stagnan dengan beragam variasi flat shoes, tiba-tiba pada suatu hari saya
melirik sebuah iklan sepatu di Facebook. Kok tiba-tiba pengen coba sesuatu yang
enggak flat ya… enggak heels
juga sih, karena malas dengan bunyi cetak
cetok-nya kalau jalan. Kayaknya… wedges
3 cm itu patut dicoba deh! Dan saya pun memesan sebuah wedges warna cream di
sebuah toko online di Facebook
bernama ‘SEPATUKU BARU’. Karena menurut saya dua warna sepatu wajib wanita itu
adalah hitam dan cream, sementara
sepatu cream saya sudah tidak layak
pakai. Jadi, tidak ada alasan untuk mencegah diri saya membeli sebuah wedges cream setinggi 3 cm, apalagi
menurut mbaknya kalau tidak pas boleh ditukar.
Dan ternyata, wedges
baru saya itu menjadi favorit sejak pertama pakai. OK, awalnya memang terasa
tidak nyaman, tapi setelah beberapa kali pakai, saya ketagihan dan tidak bisa
lepas dari sepatu itu. Sampai-sampai sepatu itu selalu ada di dalam mobil
karena selalu saya pakai ke kantor. Meskipun tidak flats, tapi rasanya mantap dipakai. Jadi saya masih bisa jalan
cepat-cepat wara-wiri di kantor dengan nyaman tanpa suara cetak-cetok yang bikin risih, plus kelihatan cantik tentu saja.
Rasanya seperti mendapatkan semua hal yang saya inginkan dari sebuah sepatu
dengan wedges baru ini. Hihi, kemana
saja selama ini ya… semacam orang udik baru nyoba sepatu enak saja :D.
Whatever-lah… tapi saking sukanya, akhirnya saya berpikir kalau saya
butuh wedges warna hitam juga deh.
Dan akhirnya pesan juga wedges
hitamnya dengan model yang berbeda. Kali ini dengan sistem PO (Pre Order) karena model yang saya
inginkan tidak ready stock. Cukup
dag-dig-dug nunggu sepatu kedua ini, karena modelnya lebih ‘berani’ dan ‘unik’
(ada bagian transparannya gitu), sementara kaki saya ini enggak bisa dibilang sexy. Tidak ramping, tapi lebih ke arah
gendut dan bulat. Dag-dig-dug bayangin seperti apalah penampakannya pakai
sepatu semacam itu nanti. Dag-dig-dug karena menurut saya harga sepatu 300
ribuan itu lumayan mahal, hehe :D.
Tapi, ternyata, wedges
kedua warna hitam ini pun lagi-lagi jadi favorit!
Lalu, apa sih inti tulisan ini? Hmm, pertama sih ingin
sekedar bercerita tentang hal-hal dalam diri saya yang melatar-belakangi
pemilihan barang (especially sepatu
disini). Bahwa ada hal yang bisa digali
dari preferensi kita akan suatu benda. Mungkin dia adalah pertanda dari sebuah
peristiwa psikologis yang terjadi dalam diri kita. Bahkan seringkali pemilihan
kita pada suatu benda itu dilatar-belakangi kepribadian kita. So, you better be sensitive about this. Dan kedua, tulisan ini dedicated untuk SEPATUKU BARU, brand lokal produsen sepatu, yang
produknya benar-benar memuaskan menurut saya. Ini bukan endorse dan semata-mata karena saya puas dengan sepatu dan
pelayanannya.
So, kalau berminat ingin pilah-pilih sepatunya bisa cek
Facebook Page-nya atau Instagram-nya. Disini, kita bisa beli sepatu yang ready stock atau pesan ukuran tertentu dan juga customize model sesuai keinginan kita. Keren kan! Dan satu lagi, pelayanannya OK banget. Jangan segan untuk tanya-tanya melalui
kontak yang ada, mbaknya ramah banget ;). Saya sendiri juga sudah punya
sepatu baru di wishlist nih, tapi
sepertinya masih harus nunggu 3 sampai 4 bulan lagi. Secara sepertinya kurang bijak secara finansial aja beli sepatu setiap 2 bulan :D. Kecuali ada yang ngasih sebagai kado ya, kan saya mau ulang tahun. Duh makin out of topic deh :D
And so… apakah kamu juga punya cerita tentang penampilan especially sepatu pilihanmu? ;)
And so… apakah kamu juga punya cerita tentang penampilan especially sepatu pilihanmu? ;)
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Waaaah wedgesnya keceee. Ada offline storenya juga ngga ya?
ReplyDelete