Tidak terasa, ternyata hampir setahun tidak membuat tulisan
tentang Ganesha si Kakak yang sekarang berumur 4 tahun 6 bulan (terakhir
menulis tentangnya di Ganesha The Big Brother). Padahal, dulu rajin sekali
menulis tentang tingkah dan perkembangannya, hiks, sekarang baru tahu rasanya
punya dua anak laki-laki yang aktif bukan main (we call it ‘usreg’, ‘tengil’, ‘pecicilan’, etc in a good way of course). Oh ya, dan tentu saja juga karena load pekerjaan yang sedang tidak bersahabat
sehingga nyaris tidak ada waktu untuk mengerjakan hal selain ‘pekerjaan’ di
kantor :(. Tapi, malam ini, spesial saya ingin menulis tentang dia, sebagaimana
saya sengaja cuti 2 minggu untuknya… karena dia memang spesial… Hey boy, you’re so special for us, we love
you so much… :).
OK,
let’s start the story…
[Disclaimer:
ini cerita yang panjang (1885 kata), if you don’t have much time, bisa langsung
skip ke bagian akhir untuk kesimpulannya. Happy reading :)]
Ganesha… tidak terbayang sebelumnya bahwa si bayi kecil yang
lucu dan imut ini akhirnya tumbuh menjadi seorang anak berusia 4 tahun 6 bulan
yang sangat lincah, penuh rasa ingin tahu, perfeksionis and so determine with what he want (baca: ngotot dengan kemauannya). Dulu, mungkin
cukup mudah untuk mengarahkannya pada hal yang menurut kami benar; tapi
sekarang, kami harus berusaha sangat keras untuk memberikan alasan hingga hati
dan pikirannya bisa menerima dan menuruti perkataan kami… Hingga jujur, kadang
kami kewalahan dan akhirnya pertengkaran pun tidak dapat dielakkan; seolah-olah
Ganesha yang berusia 4 tahun 6 bulan itu adalah lawan debat yang sepadan dengan
kami. Kepandaiannya berkata-kata dan berpikir seringkali mengelabui, hingga kami
berbuat bodoh seperti itu. Ganesha kecil kami yang lucu, kini terlihat suka
membangkang, sampai semakin sering berteriak dan menangis jika marah. Hingga bagi
beberapa orang, sepertinya cukup mudah untuk melabelinya ‘nakal’. Dan kemudian
menunjuk bahwa semua itu karena kurangnya perhatian kami (kedua orang-tuanya)
yang sama-sama bekerja.
Yah, bisa jadi poin kedua itu benar; ada banyak kekurangan
kami sebagai orang-tua yang perlu dikoreksi. Tapi, bahwa Ganesh adalah anak
‘nakal’, we don’t think so… Let me
explain why, sekaligus mencari solusi permasalahan kami…
Seems
like our good boy just gone bad, literally… But really? Ah, tentu saja
kami (orang-tuanya) tidak sependapat…
[SETIAP
INDIVIDU ADALAH UNIK]. Menurut kami dia
hanya mengalami (semacam) burnout
alias kelelahan secara mental yang diwujudkannya dalam bentuk pemberontakan. Hal
seperti ini memang tidak selalu ditandai dengan pemberontakan dan
pembangkangan, ada juga anak yang kemudian menjadi pemurung atau mencari
pelampiasan pada hal lain. Tapi, begitulah cara Ganesh sesuai dengan
kepribadiannya…
Faktanya memang individual
differences (keragaman individu) itu nyata adanya. Menghadapi suatu keadaan
yang tidak ideal, seseorang bisa merespon dengan ketenangan tanpa terlalu
mempermasalahkannya, ada juga yang kemudian justru menarik diri (bersedih)… Tapi
ada juga yang berpikiran bahwa hal itu harus diubah sesuai keinginannya. Dimana
pada saat tertentu (mungkin) dia masih bisa mengendalikan dan menahan keinginan
itu, tapi saat dia harus menerima keadaan seperti itu terus-menerus, ada ambang
dimana dia akan marah dan melakukan perlawanan.
Dan itu yang kami rasa terjadi pada Ganesha… Dia dengan
kepribadiannya akhirnya sampai pada ambang toleransinya akan keadaan yang tidak
disukainberhadapan dengan situasi yang tidak disukainya. Dimana dia hanyalah
seorang anak berusia 4.5 tahun; yang belum tahu caranya mengurangi kepenatan
hatinya ataupun mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Dia hanya melakukan
apa yang dilakukannya sesuai mood
hatinya; berteriak saat marah, membangkang saat ingin menunjukkan otoritasnya
dan menolak pergi sekolah saat dia merasa bosan. Salah? Tentu saja tidak.
Buruk? Itu pun tidak. Faktanya, kami, orang-tua dan lingkungan terdekatnya lah
yang seharusnya mampu menjadi jaring pengaman mentalnya. Kami yang harus
memahaminya dan memberikan perlakuan yang tepat untuknya sehingga dia mampu
tumbuh dan berkembang secara optimal. It’s
us! Kami yang harus membimbingnya memahami karakter dan kepribadiannya
hingga mampu menghadapi lingkungan dengan sikap, perasaan dan cara pandang yang
baik. Tapi, dalam hal ini kami lengah…
[MEMETAKAN
LINGKUNGAN TERDEKAT]. Kami lengah
sehingga lingkungan di sekitarnya (termasuk kami) memberikan stimulus yang
membuatnya dipenuhi dengan mood
negatif. Sehingga akhirnya dia memberikan begitu banyak respon yang negatif…
Dan lingkungan terdekat anak kami tidak lain adalah kami sendiri
(orang-tuanya), pengasuh dan juga sekolahnya. Tentu tidak ada satupun di antara
kami yang dengan sengaja memperburuk suasana hati Ganesh, tapi nyatanya kami
(orang-tuanya) harus menelisik ke semua ranah untuk menemukan titik-titik
dimana kami bisa melakukan perubahan untuk memperbaiki keadaan.
Orang-tua. Kurang lebih 10 jam setiap hari, 5 hari dalam seminggu saya
meninggalkan anak-anak untuk bekerja dan lebih untuk papanya. Dan jika dihitung
setiap harinya mereka tidur selama 8 jam, maka waktu interaksi saya bersama
mereka hanya 6 jam sehari. Katakanlah demikian, meskipun menurut saya, waktu
tidur pun ada sebuah ikatan diantara kami, dengan merasa bahwa saya menjaga
mereka yang kemudian menimbulkan perasaan tenang.
6 jam setiap hari pada hari kerja dan 16 jam saat libur dalam
seminggu itu bisa jadi waktu yang sangat sempit bagi anak-anak, apalagi bagi
Ganesh setelah menjadi seorang kakak. Setiap hari sepulang kerja, sudah bisa
dipastikan Mahesh lah yang lebih mendapat perhatian; dengan digendong dan
kemudian memberi ASI. Selama itu, mungkin kami pun bercakap-cakap, tapi bisa
jadi itu tidak cukup baginya. Atau bahkan ada perasaan dikesampingkan, saat dia
merasa rindu dengan mamanya dan kemudian mamanya lebih memperhatikan adiknya. It
could be, saya harus memberikan perhatian lebih bagi Ganesh. Bahwa saya
harus memperlakukannya dengan lebih spesial sehingga dia pun merasa demikian.
Dan juga bahwa kami harus lebih memberikan pengertian serta mendekatkan Ganesh
dengan adiknya lebih lagi… sehingga perasaan semacam itu bisa diminimalisir.
Selain itu, for honest,
mungkin kami (orang-tuanya) pun kurang memahaminya sebagai seorang anak dengan
kapasitas kognitif yang sesungguhnya belum sempurna. Kadang, kami
memperlakukannya seperti orang dewasa dalam bentuk mini. Seringkali kami
meminta lebih dari yang bisa dipahaminya; memintanya untuk mengerti kelelahan
dan kerepotan kami. Kami dengan sederhana berpikir bahwa secara instan dia akan
memahami dan mengikuti kata-kata kami. Untuk diam saat adiknya sedang tidur
atau kemudian tidak membuat berantakan rumah karena kami tidak punya cukup
waktu untuk membereskannya. Jelas pikiran seperti itu sama sekali tidak benar. And
it could be, Ganesh lelah dan marah dengan situasi itu. Lelah harus
menuruti perintah hanya karena menurut kami (orang dewasa) adalah sesuatu yang
benar dan harus dilakukan. Lelah harus mengesampingkan hal yang sesungguhnya
penting menurutnya (seperti bermain), hanya karena menurut kami tidak penting.
Dan lelah karena harus menganggap penting sesuatu yang sesungguhnya tidak
penting baginya (seperti menjaga rumah tetap bersih).
Ya, sepertinya kami perlu me-refresh bingkai berpikir kami agar bisa memahaminya sebagai seorang
anak seusianya. Sehingga bisa lebih memahami pola berpikirnya, lebih bersabar
dan memberikan apa yang dibutuhkannya secara psikis dari orang-tuanya.
Caregiver.
Selama 10 jam sehari, 5 hari dalam seminggu; Ganesh praktis selalu bersama para
pengasuh dan ART di rumah. Oh ya, dikurangi waktu ke sekolah selama 3 jam
menjadi kurang lebih 7 jam setiap hari. Sebuah waktu yang cukup lama dan
signifikan dalam keseharian Ganesh, sehingga interaksi yang terjadi di dalamnya
pun akan menimbulkan dampak yang cukup berarti baginya.
Pengasuh kami, tentu kami sangat percaya dengan kredibilitas
mereka secara teknis dan moral. Kami yakin, mereka adalah orang-orang baik yang
berpengalaman untuk mengurus anak. Tapi, ternyata itu saja tidak lantas membuat
segala sesuatu berjalan mulus dan Ganesh merasa bahagia sejahtera di rumah. There are some critical things, maybe little
things that should be considered after that; misalnya bagaimana pola
komunikasi mereka dan kemampuan mereka menjawab rasa ingin tahu Ganesh. It
could be mereka berusaha menyampaikan suatu pesan yang baik, ‘menjadi anak
baik’, tapi saat itu disampaikan dengan cara, “Adik aja ga berantakin mainan,
masa malah kakak yang berantakin?” dan sejenisnya berulang-kali pada seorang
anak yang kebetulan bukan tipe yang cuek
akibatnya akan menjadi buruk. Saya sebagai orang dewasa pun akan kesal jika
terus dibanding-bandingkan dengan orang lain, begitu juga Ganesh. Dan karena
Ganesh belum mampu berpikir ‘panjang’ (all
he knows is he don’t like it), dia pun menumpahkan kekesalannya dengan
sengaja melakukan tindakan yang dilarang (sengaja menantang) atau bahkan
menjadi ‘jauh’ dengan adiknya.
Dan selanjutnya, mengenai menjawab rasa ingin tahu… mungkin
dampaknya tidak sebesar pola komunikasi di atas, tapi percayalah ini jelas
membuat hari-hari terasa tidak menyenangkan!
Sekolah.
Baiklah, sekolah mungkin hanya memakan waktu 3 jam setiap hari, tapi menurut
saya hal ini sebenarnya cukup penting untuk memberikan variasi kegiatan bagi
anak. Idealnya, sekolah bisa memecah kebosanan anak akan rutinitas yang
(mungkin) monoton dan tidak menantang. Dan kemudian, saat Ganesh akhirnya mogok
sekolah selama beberapa minggu hingga hitungan bulan, kami pun mulai berpikir
bahwa mungkin Ganesh tidak mendapatkan tantangan dan penyegaran yang dibutuhkannya.
Ini bukan sesederhana sebuah sekolah berkualitas atau tidak, tapi lagi-lagi
harus mempertimbangkan karakter dan keseharian anak.
Sebuah lingkungan yang permisif bisa jadi baik untuk seorang
anak yang pada dasarnya penurut, konformis dan mudah menerima pendapat orang
lain. Tapi, lingkungan seperti itu bisa jadi tidak menyenangkan bagi seorang
anak yang mempunyai keinginan jelas serta kebulatan tekad untuk mewujudkannya.
Kedengarannya memang konfrontatif, tapi anak-anak seperti ini butuh sosok yang
menunjukkan sikap dan otoritas untuk dihormati. Atau sebuah lingkungan yang
memberikannya kesempatan untuk memimpin. Dan saat kedua hal tersebut tidak
didapatkannya, dia pun akan merasa bosan dan tidak berminat.
And it seems
like, hal inilah yang terjadi pada Ganesh, he don’t feel enough challenge at his school. Sekali lagi, bukan
tentang baik dan tidak baik, they just
don’t match. Ganesh dengan
kepribadiannya dan sekolahnya dengan pendekatannya; sebuah kombinasi yang bisa
jadi membuat Ganesh tidak merasa tertantang dan bersemangat pergi ke sekolah.
Dimana idealnya tempat ini adalah sarana untuk memecah kebosanannya. Sehingga
saat dia memilih tidak lagi bersekolah, praktis hari-harinya menjadi lebih
monoton dan membosankan, and here comes
the bad mood more…
***
Sementara itulah hal-hal yang saya curigai sebagai biang
keladi buruknya mood Ganesh
akhir-akhir ini. Cukup panjang bukan? 1490 kata sejauh ini lho… salut jika ada
yang benar-benar menyimak sejauh ini :D. Dan kalau boleh curhat, proses menulisnya pun cukup effortfull; dimulai sejak tanggal 11 Januari 2016 dan baru selesai
malam ini, menjelang 22 Januari 2016 plus editing 25 Januari 2016. Perjuangan banget ya mau update blog :D. Iya sih, lumayan perjuangan, tapi ada tekad
tersendiri bahwa tulisan ini harus published… Pertama, jelas untuk dokumentasi
kami sendiri dan kedua, harapannya ada yang bisa mendapatkan informasi dan
pencerahan positif dari tulisan ini. Well,
if you feel that raising child is a complicated things, you’re not alone! But
there’s always be some way that we can do for them…
Dan selanjutnya bagi saya pribadi sih, pencerahan yang bisa
saya petik dari peristiwa ini adalah:
- Mengenal kepribadian anak itu adalah hal yang penting! Bukan untuk memberikan mereka label, tapi untuk memahami mengapa mereka memberikan respon tertentu pada suatu kejadian. Dan juga untuk lebih memberikan suasana tumbuh kembang yang kondusif untuk mereka. (Sepertinya suatu hari harus menulis tentang ini juga).
- Saat anak menunjukkan perilaku negatif, hal yang harus dilakukan adalah melakukan poin 1 serta menganalisa lingkungan terdekat anak. Sebuah perilaku (yang merupakan cerminan dari kepribadian) adalah fungsi dari bakat (genetis) dan lingkungan. Jika seorang anak berbuat negatif, berbaik sangkalah, bukanlah kepribadiannya yang negatif, dia hanya bereaksi sesuai kondisi mentalnya kepada lingkungan. Dan setelah dianalisa, tentu saja harus mencari solusi atas permasalahan yang mungkin ada.
- Menurut saya, dalam hal ini, keluarga dengan kedua orang-tua yang bekerja memiliki celah yang lebih besar untuk lengah dan mengalami kejadian ini, karena waktu sekian jam dimana anak luput dari pengawasan kita. Tapi, jangan terlalu merasa bersalah (bukan jangan sama sekali, karena merasa bersalah dalam level tertentu akan membuat kita lebih waspada); yang harus kita lakukan adalah lebih waspada dan aware dengan lingkungan, kepribadian dan perilaku anak. Bagaimanapun juga kita harus berusaha mengontrol lingkungan anak agar kondusif untuk tumbuh kembangnya.
- Setiap anak memang unik, ada yang cukup mudah diasuh ada pula yang cukup sulit. Jika anak kita adalah yang kedua, jangan sedih :). Berita baiknya, mereka adalah anak-anak yang kritis dan (kemungkinan) memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Tapi bukan berarti anak yang penurut itu buruk lho, ingat-ingat semua kepribadian itu baik, tinggal bagaimana mengarahkan, memfasilitas dan menempatkannya.
That’s
it… 4 poin saja, karena sekarang sudah 2000 kata… Tapi cerita
ini belum berakhir, setelah ini insyaallah saya akan bercerita tentang usaha
kami (termasuk saya cuti 2 minggu full
untuk mengamati dan mencari solusi atas permasalahan kami). Stay tuned ya… Dan semoga bermanfaat…
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Waaaah aku baca sampe selesai nih mam, sambil ngangguk-ngangguk. Aku pun walaupun seorang ibu rumah tangga, agak kaget juga sama perubahan sifat anak kedua aku, Rizqi (4tahun) yang baru masuk playgroup kemarin. Dulunya dia kalem, waktu sebelum sekolah ya. Efek berteman sama kakaknya yang perempuan kali ya. Tapi abis sekolah, sekarang makin berani, kadang kasar malah sama kakaknya. Sekarang kalo aku liat malah dia yang lebih berani dan lebih tengil dibanding kakaknya. Ternyata setelah aku perhatiin, dia berani karena liat temen-temen cowoknya di sekolah. Temen-temennya rata-rata hiperaktif soalnya, kalo disekolah justru dia paling kalem. Lingkungan memang kadang nggak bisa diprediksi Mam. Orang tua memang sebenar-benarnya pemberi jaring pengaman ya.. Aku tunggu kisah selanjutnya ya Mam.. Salam untuk Ganesh dari Rizqi yaaa :)
ReplyDeleteWah.. terima-kasih banyak.. padahal asli panjang banget.. hehe :D
DeleteIya, orang-tua harus peka dengan perubahan sikap anak-anaknya, karena membesarkan anak itu ga ada manual booknya.. ga bisa juga digeneralisir bahwa satu cara akan berhasil pada semua anak..
Salam balik dari Ganesh untuk Rizki :)
Ternyata emang sifat anak bisa "berubah" ya?
ReplyDeleteSuka merasa begitu sama anak pertamaku. Kadang nggak paham dia maunya apa. Apalagi setelah adeknya lahir, ngrasa ada yang beda. Padahal sebisa mungkin kasih sayangnya nggak berkurang. Nice tips Mak, utk lbh mengenal kepribadian anak. TFS ya...
Hmm, perilaku mungkin ya lebih tepatnya.. kalo sifat relatif menetap.. manifestasinya saja yang sering berubah-ubah..
DeleteSama-sama Mak :)
Sebagai orang tua harus waspada dan perhatian kepada anaknya agar tidak berubah berperlaku buruk.. thanks for sharing ^^
ReplyDeleteYess.. sexactly! :)
DeleteYou're welcome :)
Orangtua emang mesti super duper pengertian, apalagi kalo anak masih kecil, good words btw
ReplyDeleteSalam,
Roza.