It’s
been a while… Tidak terasa, sudah
dua bulan tidak meninggalkan jejak di blog ini. Beneran lho, sewaktu kembali
berseluncur ke blog semata wayang ini, post
terakhir adalah tanggal 24 Juli 2015. Hmm, what
happen? Mungkin ada yang bertanya demikian (ada kan ya… :D). Dan jawabannya
adalah… complicated. Yang jelas,
menulis itu masih-masih kegiatan yang sangat menyenangkan bagi saya, dan
ide-ide tulisan pun masih bersliweran di kepala saya… Tapi, yang namanya ide
dan kemauan itu, kalau tidak bertemu dengan situasi dan mood yang mendukung, seringnya terbang begitu saja, alih-alih
terdokumentasi menjadi ‘sesuatu’.
Dan itulah yang terjadi pada saya… Ada beberapa kejadian yang
membuat ide dan keinginan menulis saya terbengkalai begitu saja; sebut saja
pelimpahan pekerjaan tambahan yang menyita waktu dan membuat jet lag. Yang membuat hasil kerja tidak
memuaskan, karena mau tidak mau harus menurunkan standard agar (paling tidak) semua bisa terselesaikan, terlepas
dari seberapa berkualitas hasil kerja kita. And trust me, untuk kami-kami dan kita-kita yang bernama tengah ‘perfectionist’ itu adalah hal yang
sangat menyebalkan dan stressfull!
Fiuhh… But the show must go on, the life
must go on… and everything exactly must go on… Dan
akhirnya setelah dua bulan kelimpungan seperti cacing kepanasan, I’m finally cope with my situation…
Bukannya akhirnya bisa membuat kehidupan kerja dan keluarga jadi sempurna
dua-duanya, tapi paling tidak saya bisa mulai menikmatinya. Dengan menyadari
bahwa waktu dan sumber daya yang saya miliki itu terbatas, membuat skala
prioritas dan menerima saat sesuatu tidak berjalan ‘sesempurna’ yang kita
inginkan.
Baik, sebelum semua menjadi semakin abstrak, saya akan
menceritakan sedikit situasi yang saya alami… Siapa tahu kan, ada teman-teman
yang senasib, yang merasa kalang kabut dan tidak puas karena hasrat
perfeksionis-nya tidak tersalurkan, terhambat waktu dan sumber daya yang ada… siapa
tahu :D.
I
was born perfectionist… Banyak orang
yang berpikir bahwa ‘perfeksionis’ itu adalah sesuatu yang positif dan itu sama
sekali tidak salah, lihat saja Agnes Monica yang selalu spektakuler di setiap
penampilannya karena sifatnya yang satu ini. Tapi, sesungguhnya ada sisi
negatif dari sifat ini, salah satunya rentan menimbulkan stress; untuk bisa memenuhi ekspektasi kita dan makin stress lagi saat ekspektasi tersebut
benar-benar tidak tercapai :’(. Benar, sifat perfeksionis itu mendorong kita
untuk mencapai target yang tinggi; tapi semua itu masih dikendalikan oleh
faktor dari dalam kita (kemampuan mencapai si target) dan dari luar (sumberdaya
dan kesempatan). Jadi (lagi), sifat ini hanyalah modal awal untuk mencapai
hasil yang tinggi, akan tetapi jika si empunya target ternyata suka
menunda-nunda waktu atau ternyata memiliki banyak kegiatan lain sehingga tidak
punya banyak waktu untuk mengejar target itu, maka target ini tidak akan
tercapai. Dan yang kedua inilah yang terjadi pada saya…
Awalnya, saat pindah ke unit yang baru, telah dilakukan
pembagian tugas dengan jelas. A sampai Z apa yang harus saya lakukan sudah
jelas dan saya merasa mampu melaksanakannya. Tapi, tiba-tiba saya mendapatkan
pelimpahan tugas karena ada seorang pegawai yang (sebut saja) mengundurkan diri.
Alhasil saya diminta mengerjakan tugas-tugas yang ditinggalkannya, tentu saja
ditambah pekerjaan saya sebelumnya. Pada awalnya, saya begitu bersemangat untuk
melaksanakan tugas di bidang HR Development, tapi, begitu dilimpahi tugas baru
yang lebih berbau administrasi yang notabene memakan banyak waktu; saya mulai
kehilangan fokus. Waktu saya begitu tersita untuk pekerjaan-pekerjaan rutin
seperti administrasi reimburst
kesehatan pegawai, rekap penghasilan, pensiun pegawai dan order-order lain
berhubungan dengan semua itu. Singkat cerita saya merasa overload… Stress
berusaha menyelesaikan semua pekerjaan itu menerima kenyataan bahwa saya
tidak mampu menyelesaikan pekerjaan itu sesuai harapan saya. Sekaligus stress karena waktu untuk keluarga saya dipenuhi dengan bayang-bayang pekerjaan yang belum terselesaikan. Yang seringkali termanifestasi menjadi keluh kesah tiada henti dan sikap yang lebih sensitif.
Saya sudah beberapa kali menyampaikan permasalahan ini pada atasan
saya, namun tidak ada solusi yang berarti. Diminta bersabar dan membagi
pekerjaan kepada staff lain itu menurut saya tidak bisa disebut sebagai solusi,
karena saya tidak punya wewenang untuk mendelegasikan tugas. Dan yah, rasanya
sabar itu pun ada batasnya dan ada tempatnya bukan?
Dan kemudian cerita yang sama pun berlanjut sampai pada titik
saya benar-benar merasa perlu menata prioritas hidup saya kembali. Mengejar ‘kesempurnaan’
pekerjaan di kantor sebagaimana harapan saya itu sekarang adalah hal yang
menyiksa. Saya harus mengorbankan banyak hal untuk itu. Saya harus mengorbankan
ketenangan kehidupan pribadi saya untuk memikirkan target-target yang tidak
mungkin tercapai. Mengorbankan waktu yang bisa saya gunakan untuk mendengarkan
cerita-cerita suami sepulang kerja untuk
mengeluhkan keadaan yang terjadi. And that’s
enough… Saya harus menghentikan situasi ini dan mengambil kendali kehidupan
saya sendiri. Dan saya pun berkata pada diri sendiri…
“Kamu mungkin memang diberikan beban kerja yang tidak merata dan
sisi perfeksionismu mendorongmu untuk melakukan semua dengan sempurna. Tapi,
kamu cuma manusia… Kamu punya keterbatasan; baik fisik, mental, dan sumber daya
(waktu)… Sekuat tenaga dikejar, akhirnya fisik dan mentalmu lah yang lelah. Ketenangan
kehidupan pribadimu pun terganggu dengan semua itu. Begitu juga dengan
ketenangan kehidupan orang-orang yang kamu cintai. Dan meskipun sudah seperti
itu, pekerjaan itu tetap saja tidak selesai seperti yang kamu harapkan. Jadi,
apa yang kamu kejar sebenarnya? Benarkah itu yang kamu inginkan dan berarti
bagimu? Tidak bukan? So, tugasmu adalah menggunakan semaksimal mungkin
sumberdaya yang kamu miliki dari pukul 07:30 sampai dengan 16:00 untuk
menyelesaikan tugas-tugasmu. Dan setelahnya, go ahead, kamu berhak untuk menikmati kehidupanmu tanpa dihantui
target-target yang (mungkin) tidak tercapai. Just let it go… dan nikmati hidupmu…”
Sebuah pemikiran sederhana, tapi mengandung
keikhlasan yang membebaskan saya dari rasa harus bisa menyelesaikan semuanya. Di
kantor, saya masih merasa harus melakukan hal yang terbaik yang saya bisa,
mencurahkan tenaga dan pikiran semaksimal mungkin… Dan setelah itu, saya harus puas dengan hasilnya. Saya harus ikhlas bahwa terkadang hasil pekerjaan kita
tidak seperti yang kita harapkan, meskipun dengan usaha terbaik yang kita bisa.
Ya semua itu karena kita hanya manusia, dengan segala kelemahan dan
keterbatasan kita…
Dan begitulah hidup, kadang kita tidak bisa mendapatkan semua
yang kita inginkan. Namun, kita tetap bisa berpuas diri dengan menyadari bahwa
kita telah mencurahkan usaha terbaik kita. Dan apapun hasilnya kemudian, adalah
yang terbaik yang kita bisa…
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
*Note: Perusahaan tempat saya bekerja sesungguhnya tidak menyarankan adanya lembur pada divisi tertentu, termasuk divisi saya. Tidak ada peraturan tambahan insentif untuk kegiatan dinas di luar jam kerja.
*Note: Perusahaan tempat saya bekerja sesungguhnya tidak menyarankan adanya lembur pada divisi tertentu, termasuk divisi saya. Tidak ada peraturan tambahan insentif untuk kegiatan dinas di luar jam kerja.
sama mbak kayak aku, pengennya ngerjain semua dengan sempurna, semua serba terjadwal, dan kalau meleset dari jadwal, langsung berantakan semua, stress, bad mood
ReplyDeletetapi sekarang sudah mulai bisa 'tidak harus sempurna', jadi berkurang deh bad mood-nya :D
Iya.. pada akhirnya stress sendiri dan merembet kemana-mana 'bete'-nya.. Sama, sekarang mah, lebih selow.. di kantor ya kerja maksimal, tapi habis itu.. lupakan saja :D
DeleteSama, mbak. Aku juga sering kehilangan fokus dan stres kalo kerjaan udah menumpuk. Pengennya sih apa yang dikerjakan sempurna. Jadi kelabakan kalo tetiba dilimpahi tugas baru yang seabrek-abrek.
ReplyDeleteKita senasib.. :D
DeleteSemangatt!!