Sang Ibu
|
:
|
“Papa, kayaknya Doni udah mulai ga kontrol deh main hape-nya…”
|
Sang Ayah
|
:
|
“Doni… udahan ya main hape-nya… Kan udah lama…”
|
Sang Anak
|
:
|
“Enggak…”
|
Sang Ayah
|
:
|
(Mulai naik darah) “Doni, udahan main hape-nya… kalo ga, Papa hapus
nanti semua game di hape Papa…”
|
Sang Anak
|
:
|
“Enggaaaakkkk!!!”
|
Sang Ayah
|
:
|
(Makin emosi) “Eh, kamu makin nggak bisa diatur ya… kebanyakan
diturutin… Papa itung sampe 10, kalo ga berhenti juga, Papa hapus
game-nya!!!”
|
Sang Anak
|
:
|
“Enggaaakk…” (Mulai menangis)
|
Aah… sebuah cerita klasik dan umum terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, sebuah cerita yang saya pun mengalaminya semasa kecil. Dan
sekarang seolah terulang kembali saat saya menjadi seorang ibu. Iya, kadang
kejadian seperti di atas dalam setting
yang berbeda (tidak terelakkan) terjadi dalam kehidupan kita. Sesuatu yang
memang klasik dan (mungkin) umum terjadi, tapi membuat saya berpikir… “Memang
anak-anak ini apa iya dengan tiba-tiba menjadi ‘nakal’? Masa sikap yang tidak
menyenangkan (misalnya suka teriak-teriak) itu bawaan gen?”
Dan jawabannya tentu saja TIDAK… Tentu saja anak-anak ini
bukan mendadak, begitu bangun tidur tiba-tiba bersikap ‘nakal’. Dan lebih tidak
masuk akal lagi kalau sikap seperti suka teriak-teriak itu adalah bawaan gen
(ada-ada saja :D). Sikap-sikap yang ditunjukkan anak-anak yang bagi kita
kadangkala dengan mudah disebut sebagai ‘nakal’ itu, bukan terjadi secara serta
merta dan tanpa sebab. Ada latar belakang yang menyebabkan seorang anak
bersikap seperti itu. Dan sayang sekali, kita sebagai orang-tua sesungguhnya
pasti ada dalam rangkaian latar belakang itu; secara langsung atau tidak
langsung, secara sadar atau tidak sadar…
“Masa
iya sih? Rasanya kita sebagai orang-tua tidak pernah dan tidak akan pernah
mengajarkan hal-hal yang negatif seperti itu deh…” Baiklah, mari kita renungkan bersama…
Anak memang tidak terlahir seperti selembar kertas kosong,
tapi mereka selalu terlahir sebagai ‘malaikat-malaikat’ kecil yang tidak punya
niat buruk sama sekali. Sedari bayi pun mungkin mereka kadangkala bersikap yang
bagi kita orang dewasa ‘merepotkan’ atau ‘mengganggu’, misalnya rewel. Namun,
tentu kita semua sadar, bahwa sikap ini bukanlah manifestasi dari keinginan
mereka untuk mengganggu kita. Rewel, seringkali adalah satu-satunya cara yang
mereka tahu untuk mengkomunikasikan kondisi yang membuat mereka tidak nyaman,
baik fisik maupun psikis. Baik, kalau soal ini sih sebagian besar dari kita
bisa memaklumi dengan mudah… Tapi, perlahan-lahan kemakluman dan kesabaran kita
mungkin akan menipis dengan bertambahnya usia anak. Lagi-lagi ini juga
permasalahan klasik yang umum terjadi…
Saat anak-anak kita mulai tumbuh dan menunjukkan
kecerdasannya, beberapa diantara mereka mulai ‘banyak tingkah’ dan ‘sulit
dikendalikan’. Mereka mulai mempertanyakan segala hal, menuntut penjelasan
begitu detail sebelum akhirnya menurut dan berekspresi sesuai logikanya
sendiri. Sesuatu yang sebenarnya bukan hal yang negatif; namun, terkadang kita
sebagai orang dewasa dengan begitu banyak agenda menjadi tidak sabar dan
menganggap tingkahnya sebagai sesuatu yang mengganggu… Tentu ini bukan nakal
kan?
Selanjutnya, dengan bertambahnya usia dan kedewasaan anak,
sifat kritis dan suka menirunya pun semakin berkembang. Nah, disinilah
sesungguhnya anak-anak sadar atau sadar mulai terlihat sebagai ‘cermin’ bagi
lingkungan di sekitarnya. Mereka mulai kritis untuk memberikan tanggapan dan
meniru apa yang dilihat, didengar dan dirasakannya.
Mereka mulai keranjingan main hape, ehem, kira-kira siapa yang ngajarin ya? Siapa yang kalau di
rumah pegan hape terus, lalu, siapa juga yang nginstalin game di hape-nya?
Mereka mulai suka membantah dengan suara keras dan nada tinggi, bentak-bentak,
sampai main fisik (memukul misalnya); kira-kira mereka dapat ide dari mana sih?
Siapa yang selalu sibuk dan menyepelekan panggilan mereka untuk menunjukkan
sesuatu, sehingga perlu berteriak untuk menarik perhatian kita? Atau pada saat
mereka tidak bisa bangun pagi, kalau ke sekolah kesiangan terus… ehem, apakah
kita sudah meluangkan waktu untuk mengajak mereka bangun pagi? Karena mungkin
kita bangun pagi sih, tapi terlalu sibuk beres-beres sehingga sengaja
membiarkannya bangun agak siang. Jawabanya adalah KITA orang-tuanya…
Banyak sekali kasus yang bisa terjadi, dimana kita sebagai
orang-tua kemudian menunjuk anak kita sebagai anak ‘nakal’ atau ‘susah diatur’.
Atau paling tidak mengeluh deh, karena kita di jaman ini dididik untuk tidak
melabel anak kita secara negatif. Nah, pada saat itulah sebenarnya kita
sekaligus menunjuk pada diri kita sendiri, karena sesungguhnya kita sebagai
orang-tua adalah orang yang bertanggung-jawab sepenuhnya akan pendidikan
anak-anak kita. Bukan sekedar menjadi contoh yang baik, tapi juga menjaga agar
lingkungan di sekitar anak cukup kondusif untuk membentuknya menjadi pribadi
yang baik. Jadi jangan ngeles
menyalahkan TV atau teman bermain atau lingkungan di sekitar anak lainnya ya…
Karena itu juga bagian dari tanggung-jawab kita. Di luar sana memang ada banyak
ancaman, karena itu, kita pun harus pandai-pandai membentengi anak kita dari
pengaruh buruknya. Bukan selalu dengan menyediakan lingkungan yang steril dari
hal negatif, tapi juga dengan memberikan pemahaman agar anak bisa mendapatkan
pelajaran yang baik dari apapun kondisi di sekitarnya. Dan disini, lagi-lagi,
sudah cukup dekatkah kita dengan anak-anak kita untuk melakukan hal ini?
Sehingga anak-anak kita merasa nyaman dan perlu menceritakan apa yang
dialaminya di luar sana? Atau, yang paling sederhana, sudahkah kita meluangkan
cukup waktu untuk mendengarkan cerita-cerita anak kita? Sehingga kita bisa
membantu mereka mendapatkan insight
yang membawa mereka pada kebaikan…
Dan akhirnya, beberapa hari yang lalu pun saya berselancar ke
toko online untuk membeli jam waker untuk Ganesha si sulung. Keluhan
kami akan Ganesh yang susah bangun pagi membuat kami berkaca dan menyadari
bahwa kami lah yang memang belum meluangkan waktu untuk mengajarinya bangun
pagi. Kesebalan kami karena Ganesh susah dibangunkan dan sering terlambat
berangkat sekolah (Kelompok Bermain) tidak lain karena kesalahan kami sendiri.
Saya sendiri terlalu sibuk membereskan segala sesuatu sebelum bekerja, sehingga
sengaja tidak membangunkannya pagi hari. Sementara papanya seringkali harus
lembur agar KWH tetap terbangkit dari PLTU di seberang rumah kami. But, still, itu bukan pembenaran untuk
kami sebagai orang-tua, so come on
Le… kita belajar bangun pagi sama-sama ya… Bismillah…
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Kemarin saat ikut kajian ttg membangun rumah tangga Islami ustadnya bilang kalau anak itu fisiknya niru ayahnya, sedangkan karakternya niru ibu. Kadang aku pikir bener juga. Aisyah nyebelin kayak aku LOL
ReplyDelete:D.. Sama kaya anakku yg pertama.. gitu juga.. Yang kedua, baru casingnya mirip emaknya tapi karakternya mirip papanya.. :D
DeleteJadi pengen memperbaiki diri sebelum punya anak. Kebayang aku aja suka kesel sama diri sendiri, ntar nurun ke anak bisa berabe juga yak, haha
ReplyDeleteIya.. seringkali setelah kita dewasa, kita lupa rasanya jadi anak kecil.. jadi tanpa sadar bersikap tidak sepatutnya pada mereka..
DeleteAnak itu mencontoh sekeliling, semakin ia dilarang, akan semakin ia lakukan, kalo dikekang akan semakin banyak kebohongan, yuk semangat jadi orangtua yang baik dan memahami anak
ReplyDeletesalam,
kesya