“Ganesh, kalo di
kelas ikutin katanya Bu Guru dong… Biar
Bu Gurunya tau kalo Anesh bisa nyanyi, terus dikasih nilai deh…” Beberapa kali saya sounding seperti itu pada Ganesh supaya
mau aktif bernyanyi saat pelajaran sentra musik di kelas SPS*-nya. Tapi, tetott! Apa pentingnya nilai untuk anak seusia Ganesh
(3.5 tahun)? Dan Ganesh pun tetap tidak mau bernyanyi di kelas, meskipun sebenarnya memiliki katalog lagu yang cukup banyak… mulai dari lagu berbahasa Indonesia sampai berbahasa Inggris; dari ‘Balonku
Ada Lima’ sampai ‘Still I Fly’ soundtrack-nya
Planes: Fire & Rescue… (Beberapa rekaman nyanyian Ganesh ada di ‘Singing Ganesha: Mengenalkan Musik pada Anak').
Baik, pendekatan pertama gagal, kita coba cara
lain…
Saya: “Ganesh, nanti
kalo udah bisa nyanyi bisa ikut lomba nyanyi lho… Nanti bisa dapet piala kaya mama… ”
Ganesh: “Mama, Anesh
sudah pinter nyanyi, mana pialanya?”
Saya: “Kan nyanyinya
harus di depan banyak orang, di depan juri biar bisa dinilai bagus apa enggak.
Makanya Anesh belajar dulu…”
Ganesh: “Juri itu apa
Mama?”
Saya: “Juri itu orang
yang ngeliatin kita nyanyi dan ngasih nilai bagus ga nyanyian kita”
Ganesh: “Anesh kan
nyanyi di depan Mama, Mama aja beliin Anesh piala…”
Saya: “(Speechless) (Ya sudahlah Le… nikmati saja apa yang kamu inginkan di kelas… mungkin nanti kamu akan menemukan alasan untuk
bernyanyi di kelas).
Tamat.
Sampai pada
suatu hari, dari kelas SPS terdengar suara lantang seorang anak bernyanyi, “Lihat
kebunku penuh dengan bunga, ada yang putih dan ada yang merah…” Sontak saya dan
beberapa ibu yang juga sedang menunggu anaknya menengok ke kelas. Suara itu tidak asing bagi
saya, tapi masa iya Ganesh bernyanyi di kelas? Karena selama 2 bulan
ini dia belum mau bernyanyi di kelas. Bukan karena tidak bisa, tapi karena
tidak merasa perlu melakukan hal itu; menyanyi kan bisa dimana saja, kenapa
harus di kelas dan di depan Bu Guru? Berbeda dengan permainan lain; seperti puzzle dan bantal bercerita yang hanya
ada di kelas.
Dan ternyata
benar, itu suara Ganesh! What a sureprise…
Setelah 2 bulan dan setelah kehabisan
kata-kata membujuk , akhirnya Ganesh mau bernyanyi di kelas. Terharu :).
***
Ada yang bilang everything happen for a reason kan ya…
Hmm, kira-kira apa ya yang membuat Ganesh akhirnya mau bernyanyi di kelas? Pertanyaan itu pun terjawab segera setelah Ganesh selesai bernyanyi dan berlari
keluar kelas melapor kepada saya, “Mama, Anesh tadi nyanyi di kelas! Anesh mau
naik kelas Mama!” teriaknya dengan bangga. Haha, owalah, ternyata alasannya
adalah obrolan kami beberapa waktu yang lalu. Waktu itu saya pernah bercerita
padanya…
Saya: “Ganesh, tau ga
kenapa di kelas perlu ikutin katanya Bu Guru? Kalau disuruh nyanyi ya nyanyi,
kalau disuruh mewarnai ya mewarnai? Itu supaya Ganesh bisa…”
Ganesh: “Kan Anesh
sudah bisa…”
Saya: “Iya, tapi kan
Bu Guru belum tau Ganesh bisa… Nanti karena dikiranya Anesh belum bisa nyanyi,
diajarin nyanyi terus deh… Padahal Anesh udah bisa naik kelas dan diajarin yang
lain… Katanya Anesh mau bikin robot? Kalo diajarin nyanyi terus, kapan diajarin
bikin robotnya?”
Tidak disangka,
percakapan itu bisa membuat Ganesh merasa perlu bernyanyi di kelas. Karena memang dia sering bercerita tentang keinginannya membuat robot setelah menonton film 'Stand by Me Doraemon' dan 'Big Hero 6'. Alhamdulillah :). Dan
semoga saja, tidak ada side effect
dari pemahamannya tentang hal ini; jangan-jangan habis ini dia menagih diajarin
bikin robot lagi :D.
***
Sejak Ganesh
masuk PAUD tiga kali seminggu selama 2 jam 2 bulan yang lalu, saya pun menyadari banyak hal;
tentang mendorong anak untuk mau bersosialisasi dan yang tersulit adalah
membuat anak mau mengikuti kegiatan di dalam kelas yang baginya tidak menarik
atau tidak perlu dilakukan. Seperti yang saya ceritakan, Ganesh selalu aktif terlibat
dalam permainan yang menurutnya menarik; seperti lompat tali, main bola bowling dan sejenisnya. Tapi begitu
kegiatan membaca doa atau bernyanyi, dia lebih suka lari-larian keluar kelas…
Bukan karena tidak bisa, tapi tidak tertarik! Baginya kegiatan-kegiatan itu
bisa dilakukannya di luar kelas. Jadi, kenapa harus melakukannya di kelas? Lebih
baik, bermain saja bersama teman-teman lain; mungkin itu pikirnya. Ciri khas
pemikiran anak-anak seusianya memang, tahap pre-operasional menurut Piaget. Dimana
anak memang sudah bisa berpikir simbolis untuk mengembangkan bahasa, bermain
peran dan memecahkan masalah; tapi pemikiran mereka belum sepenuhnya logis. Pemikiran
mereka masih bersifat egosentris (belum mampu berpikir berdasarkan perspektif
orang lain) dan mudah dikelabui oleh persepsi mereka sendiri.
Jadi, sangat
wajar jika banyak ibu-ibu yang sama-sama menunggu anaknya seperti saya
mengeluh; anaknya pandai bernyanyi atau menghafal doa di rumah, tapi hanya diam
di kelas. Jawabannya sederhana, mereka
(anak-anak itu) hanya tidak merasakan urgensi dari kegiatan itu (bernyanyi
atau menghafal doa di kelas). Apa yang penting menurut kita orang dewasa
seringkali tidak penting menurut mereka. Jadi, sebenarnya permasalahannya
adalah bagaimana kita berpikir seperti tahapan berpikir anak-anak ini. Memberikan
penjelasan sesuai kemampuan mereka berlogika. Mencari sesuatu yang bisa memotivasi
mereka melakukan hal itu, tapi tentu saja harus logis dan tidak membohongi untuk mengajarkan logika yang benar pada anak. Sehingga, dengan kata lain, dalam kasus
seperti itu, permasalahan sesungguhnya
ada pada kita sebagai orang-tua atau pendidik, yaitu kita belum menemukan insight untuk bisa memberikan alasan
yang bisa diterima anak-anak mengapa mereka harus melakukan sesuatu. Setuju
kan?
Jadi, bagi
ibu-ibu atau guru menghadapi permasalahan serupa; tenang… Anda tidak sendirian…
Hal ini memang kerap terjadi pada anak usia pra-sekolah. Hal ini bukan melulu
karena anak pemalu, malas atau tidak mau menurut; sama sekali bukan! Seringkali
mereka (anak-anak ini) hanya tidak merasa perlu untuk melakukan apa yang kita
inginkan dari mereka dan kita belum berhasil berpikir sesuai logika mereka
untuk menemukan sesuatu yang bisa menjadi motivasi bagi mereka untuk melakukan
sesuatu. Santai saja, tidak perlu memaksa anak, karena di usia mereka saat ini memang adalah waktunya bermain. Tapi, tetap berusaha, amati dan gali pemikiran anak-anak ini,
karena disanalah kita akan menemukan apa yang menurut mereka penting dan
bagaimana membuat sesuatu yang menurut kita penting juga penting menurut
mereka.
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
*SPS = Satuan PAUD Sejenis
*SPS = Satuan PAUD Sejenis
makasiiiih tulisannya mak, anak bungsu saya seusia Ganesh..kalo di kelas diem aja maunya mainan yg dia bisa gerak kaya persootan dll kalo barissebelum ke kelas gamau, nyanyi di kelas gamau, dengerin bu gurunya gamau, baru kalo mewarnai dan menempel mau....jadi harus merasa bhw kegiatan itu penting ya buat dia...
ReplyDeleteBisa jadi sama kasusnya itu Mak.. coba digali aja.. ajak anaknya cerita-cerita, cari tau apa yang menurut dia penting dan bisa dikorelasikan dengan kegiatan di kelas yg ga mau dia lakukan itu..
DeleteSukses Mak :)
Duhh suka banget sama itu quote-nya. Pantesan anak-anak saya di kelas suruh masukin baju biar rapi aja susahnya kebangetan, mungkin merea menganggap itu memang tidak penting.
ReplyDeleteBisa jadi Mak.. Kadang kita harus berpikir dari posisi mereka supaya tau cara terbaik untuk membuat mereka perlu melakukan sesuatu :D *anak jaman sekarang makin kritis lho :D
DeleteSaya jadi inget ketika ikut seminar tumbuh kembang anak. Saya sempat wawancara dengan dr Wawan, pakar tumbuh kembang anak. Beliau mengatakan bahwa anak baru mulai bersosialisasi dengan orang lain ketika memasuki usia 7 tahun. Karena itu, kita juga nggak perlu cepat-cepat memasukkan si anak ke sekolah terlalu dini dengan alasan supaya anak mampu bersosialisasi dengan orang lain. Justru sosialisasi terbaik untuk anak adalah dengan keluarga terlebih dahulu.
ReplyDeleteSetuju sekali.. kita memang tidak perlu cepat-cepat memasukkan anak ke sekolah terlalu dini.. Tapi, yang harus didefinisikan disini adalah 'sekolah' seperti apa sih yang dimaksud? Saya kira SPS atau KB (Kelompok Bermain) bukanlah bentuk 'sekolah' yang dimaksud disana, karena disini anak tidak dituntut untuk menguasai suatu ketrampilan, tapi sekedar diberikan rangsang.. Oh ya, tapi kita juga harus jeli memilih PAUD yang benar-benar menerapkan prinsip itu ya..
DeleteMungkin maksud dari dr. Anwar dengan sekolah ini adalah SD kali ya.. yang menuntut anak menguasai berbagai ketrampilan dan pengetahuan. Yang ada evaluasi berbentuk angka, ranking dsb. Kalo PAUD yang 'baik' mbak, semua itu ga ada.. anak-anak benar-benar hanya dirangsang untuk bercerita, bermain, dsb.. tidak ada tuntutan atau konsekuensi jika mereka tidak menguasai sesuatu..
Saya juga setuju kalau sosialisasi terbaik adalah dalam keluarga.. Tapi lagi-lagi disini tidak bisa ditelan mentah-mentah, karena disini ada dua variabel, yaitu si anak dan keluarga.. Jika si anak memang menginginkan untuk bermain dengan lingkungan yang lebih luas, mau masuk PAUD untuk anak seusianya dan membutuhkan lingkungan sosialisasi yang lebih luas, yang tidak lagi bisa dicover oleh keluarga (anak merasa bosan dan ingin bergabung dengan teman sebayanya).. rasanya kesimpulannya akan berbeda kan..
Itu pendapat saya mbak :)
Anakku juga suka2nya dia aja tuh sekolahnya. Tapi dia paling semangat kalo disuruh sesuatu yang verbal, kaya nyanyi baca surah pendek. Kalo dikasih PR yang menebalkan tulisan kadang mau kadang ngga
ReplyDeleteIyah.. anak-anak mah dunianya masih bermain Mak.. jangan dipaksa, tapi boleh diusahakan supaya dia dengan sukarela melakukan kegiatan itu.. ;)
DeleteSetuju maaakk.. anakku adalah salah satunya yang ga mau disuruh tampil didepan kelas. Mau nyanyi, puisi atau pun baca doa. Padahal dia bisa lho, tapi ga mau. Dia lebih tertarik dengan menggambar, atau kegiatan mandiri lainnya. Satu-satunya kegiatan pentas yang dia mau lakukan adalah menari kelompok. Sampai hari ini aku masih mengurut dada melihat anak-anak lain yang tampil lincah di depan kelas. Anakku kapan ???
ReplyDeleteIya.. begitulah anak-anak.. jangan dipaksa, usahakan supaya dia mau dengan sendirinya.. but after all, masa anak-anak memang waktunya bermain.. santai saja ;)
Delete