Seumur hidup,
selama lebih dari 29 tahun, baru dua kali saya meninggalkan tempat yang saya
sebut ‘rumah’. Tahun 2008 saat saya menerima tugas kerja pertama saya di
Palembang kemudian ke Tanjung Enim, dan awal tahun 2015 saat saya menerima
keputusan mutasi pertama saya ke Bandar Lampung. Migrasi yang membawa kebaikan
sejauh ini, karena migrasi pertama membawa saya bertemu suami saya saat ini dan
migrasi kedua pun mendekatkan kembali kami sekeluarga setelah suami terlebih
dahulu mutasi di bulan Juli 2014. Hmm, kedengarannya memang nasib benar-benar
berpihak kepada kami bukan? Dan sudah sepantasnya kami bahagia dan bersyukur…
Tapi, selama 6 tahun tinggal di suatu tempat hingga kami menyebutnya rumah,
tentu menyisakan kenangan tersendiri. Kenangan yang membuat kami berkali-kali
melihat ke belakang, tapi tentu saja tidak membuat kami lupa bahwa tempat baru
ini adalah jawaban atas doa-doa kami untuk bisa bersama-sama sekeluarga dan
kami begitu bersyukur.
Tanjung Enim… 6
tahun lalu, di tahun 2008 saya pertama kali menginjakkan kaki di tempat itu
sebagai seorang dewasa. Karena lucunya, semasa kecil saya pernah tinggal disana
bersama orang-tua karena tugas kerja. Hmm, mungkin benar juga mitos yang
beredar disana, bahwa sekali seseorang meminum air Sungai Enim, dia pasti akan
kembali kesana. Saya buktinya :D. Waktu itu, dengan segala suka cita karena
mendapatkan pekerjaan pertama saya sekaligus mimpi yang terwujud untuk hidup
(benar-benar) mandiri setelah 25 tahun tinggal bersama orang-tua; saya pun
melangkah dengan begitu mantap.
Tanjung Enim
mempertemukan saya dengan begitu banyak orang-orang baik yang akhirnya menjadi sahabat
karib. Dan salah satunya adalah seorang yang pertama kali saya kenal disana
melalui seorang teman di Palembang, seseorang yang dua tahun dari sana (2010)
akhirnya menjadi suami saya, dengan proses yang tidak bisa dibilang sederhana :D.
Hmm, petunjuk yang jelas bukan kenapa Tanjung Enim benar-benar penuh kenangan?
Tanjung Enim
adalah tempat yang mengajarkan apa itu idealisme, bagaimana saat dia
dihancurkan, dan bagaimana menyalakan kembali asa dan tekad untuk melawan
dengan segala daya dan upaya. Mengajarkan begitu banyak pengalaman hidup,
tentang bagaimana rasanya berada di titik terendah kepedulian pada sekitar,
hingga kesadaran untuk memilih melawan daripada sekedar bertahan. OK, sebut
saja ini adalah masa transisi dari seorang gadis lugu yang membayangkan dunia
seperti negeri dongeng menjadi seorang wanita yang melihat kenyataan dengan
mata terbuka. Hmm, bagian ini mungkin terdengar sedikit lebay…
Tanjung Enim
juga menawarkan begitu banyak kenyamanan sebagai seorang ibu… iya, jarak rumah
dan kantor yang hanya 5 menit itu benar-benar kenikmatan yang tidak ada duanya!
Saya bisa pulang ke rumah setiap jam istirahat untuk menemui anak kecil saya
Ganesh. Saya bisa berangkat 07.30 dari rumah dan pulang pukul 16.05 setiap
harinya. Hanya meninggalkan Ganesh selama kurang lebih 7 jam setiap hari dan 5
hari seminggu…
“I wish I could push pause tonight
In the middle of the applause and the light
How we are together I'll forever miss
Cause I know nothing gets better than this”
(Better Than This, Marion Raven)
Iya, saya
berharap waktu berhenti di masa-masa menyenangkan itu. Saat dimana kami
berkumpul bersama sekeluarga bersama sahabat-sahabat yang begitu karib dan
menikmati segala kemewahan yang ada… Tapi, hidup harus terus berjalan bukan? Dan
dengan memberi kesempatan akan perubahan, dari sanalah kita akan tumbuh menjadi
lebih dewasa :). ‘Zona nyaman’, mungkin itulah kata yang tepat untuk sebuah
tempat penuh dengan kemudahan seperti Tanjung Enim bukan? Sesuai kata-kata
bijak, “pelaut ulung takkan lahir di laut yang tenang,” maka menantang diri
sendiri untuk berlayar lebih jauh dengan segala resikonya bukan? Lagi pula,
tempat baru belum tentu benar-benar seberat itu bukan? Bisa jadi, ini adalah
sebuah cara Tuhan untuk membawa kita kepada kebahagiaan dan kebaikan…
“There' a time in your life
When the world is on your side
You might not feel it
You might not see it
But it surrounds you like a light
Makes you stronger for the fight
Feel the wind all around
All the courage to be found
Who knows what's out there
I know I'll get there
Oh off into the sun
I know I'm not the only one that's
Never letting go
Gotta learn to grow
Watch me as I touch the sky
Still I fly
Now I know it's what I gotta do
Find a dream that's new
Give it all I got this time
Still I fly”
(Still I Fly, Spencer Lee)
All the good things I left there…
|
All the best thing I bring there… :)
|
And at least… I may left good things there, but I bring all
the best thing here with me… together :). Alhamdulillah…
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Alhamdulillah sekarang udah berkumpul sama keluarga ya mak..
ReplyDeleteAlhamdulillah Mak :)
DeleteTerima-kasih..
semoga tempat baru yg pastinya akan lebih menyenangkan :)
ReplyDeleteAmiin.. makasih Mak :)
Deleteperubahan awal2 akan tetap menciptakan goncangan, itu pasti, karena aku pernah merasakannya. Tapi selalu ada yang indah setelahnya <3
ReplyDeleteIya mak, benar sekali.. setelah kita beradaptasi dengan lingkungan baru, bersyukur rasanya bisa pindah kesini :)
DeleteDi awal pasti ngerasa gitu ya mak, enak di tempat yang dulu. Aku jaman masih ikut beberapa kali pindah kota ikut Papaku, ngerasa gitu juga
ReplyDeleteAnak saya Ganesh juga awalnya keliatan jet lag selama beberapa hari Mak.. itu juga bikin tambah sedih waktu itu.. tapi alhamdullillah sekarang kami sudah move on :D
Delete