Malam itu rasanya sedih sekali :(. Baru saja, saya terpancing
dengan kerewelan Ganesh dan memarahinya. Sampai akhirnya dia menangis, dan saya
semakin terpancing hingga mencubitnya dan dia berteriak, “Sakit…”. Kemudian setelah itu, saya lihat jelas, air matanya bercucuran… betapa sakit hatinya
dia, mama yang dicintainya, memarahinya dan kemudian mencubitnya! Di matanya
terlihat jelas bagaimana hatinya hancur, dan semua itu pun serta-merta membuat
hati saya pun hancur, “Kenapa harus se-ekstrim itu reaksinya? Harusnya aku
bersabar, dia kan hanya seorang anak kecil, dia bahkan tidak berniat membuatmu
susah, sedih atau marah seperti tadi…” Tapi semuanya sudah terlanjur… Dan
saat akhirnya dia tertidur, memandangnya, membuat penyesalan itu semakin
membuncah, “Maafkan Mama Nak…”
***
Secara psikologis, 'marah' (anger) didefinisikan sebagai emosi yang ditandai dengan sikap antagonis kepada seseorang atau sesuatu yang mengganggu kita. Sesungguhnya marah sendiri, bukan sesuatu yang selalu negatif, hanya saja emosi marah yang berlebihan atau terlalu kuat memang akan relatif berdampak negatif, karena membuat kita kesulitan berpikir secara logis dan berpengaruh pada kondisi fisik kita; misalnya detak jantung semakin kencang1.
Nah, karena definisi di atas, menurut saya marah pada anak sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam; pertama adalah marah dengan intensitas yang wajar berisikan pesan ketegasan dan kedua adalah marah dengan intensitas yang berlebihan yang berisikan pesan emosional, kebencian dan ketidakpedulian pada perasaan anak. (Seramnya marah yang kedua ini ya x_x). Marah dalam intensitas yang wajar sebagai wujud reaksi tegas mungkin ada kalanya diperlukan dalam proses mendidik anak, karena lebih banyak melibatkan logika dan sangat minimal melibatkan aspek emosi. Dengan demikian, diharapkan akan membuat anak menyadari perilakunya yang tidak baik, namun tidak sampai membuatnya kecewa dan sedih. Sedangkan marah yang berlebihan sehingga mengurangi kemampuan kita berpikir secara logis, sebisa mungkin harus dihindari. Karena rawan membawa kita pada tindakan yang cenderung tidak terkendali dan ekstrim, dengan demikian dapat menyakiti perasaan anak.
Nah, karena definisi di atas, menurut saya marah pada anak sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam; pertama adalah marah dengan intensitas yang wajar berisikan pesan ketegasan dan kedua adalah marah dengan intensitas yang berlebihan yang berisikan pesan emosional, kebencian dan ketidakpedulian pada perasaan anak. (Seramnya marah yang kedua ini ya x_x). Marah dalam intensitas yang wajar sebagai wujud reaksi tegas mungkin ada kalanya diperlukan dalam proses mendidik anak, karena lebih banyak melibatkan logika dan sangat minimal melibatkan aspek emosi. Dengan demikian, diharapkan akan membuat anak menyadari perilakunya yang tidak baik, namun tidak sampai membuatnya kecewa dan sedih. Sedangkan marah yang berlebihan sehingga mengurangi kemampuan kita berpikir secara logis, sebisa mungkin harus dihindari. Karena rawan membawa kita pada tindakan yang cenderung tidak terkendali dan ekstrim, dengan demikian dapat menyakiti perasaan anak.
Dalam
dunia ideal, ‘marah’ dalam bentuk apapun mungkin adalah sesuatu yang salah. Idealnya,
kita harus bisa menggunakan cara yang lembut untuk menghadapi perilaku anak
kita. Tapi, saya pribadi beranggapan jika marah sebagai wujud reaksi tegas yang
tidak disertai dengan emosi dan tindakan yang menyakiti perasaan anak adalah
hal yang ada kalanya diperlukan. Menyakiti disini, misalnya kata-kata kasar
yang merendahkan (kasar secara verbal) atau tindakan fisik. Sedangkan marah
sebagai pelampiasan emosi yang berlebihan, jelas memang harus dihindari, karena tidak
ada dampak positif bagi kedua belah pihak, baik anak maupun orang-tua hanya
akan mengalami perasaan negatif.
Namun,
kenyataannya setiap orang, termasuk juga seorang ibu hanyalah manusia biasa,
kadang ada situasi tertentu yang membuatnya tidak bisa mengendalikan emosinya;
kelelahan, stress atau Pre-Menstrual Syndrome (PMS) misalnya. Dan
karena itu saya yakin, sebagaimana kurva normal, sebagian besar ibu di dunia ada dalam kategori, kadang-kadang marah
karena kondisi-kondisi tertentu seperti ini. Sedangkan ibu yang bisa
benar-benar sabar, sehingga tidak pernah marah dan juga sebaliknya ibu-ibu yang
selalu berbuat kasar (secara verbal atau fisik) pada anaknya sama-sama hanya
dalam jumlah yang sedikit.
Kenyataan
bahwa kadang-kadang tidak bisa mengendalikan emosi dan marah kepada anak adalah
hal yang manusiawi mungkin bisa mengurangi rasa bersalah kita. Namun, kabar
buruknya bahwa meskipun demikian, marah sebagai pelampiasan emosi (terutama dengan intensitas yang berlebihan) tetap
memiliki efek negatif pada anak. Dimana intensitas atau seberapa buruk efek
negatif ini tergantung juga pada kepribadian anak.
‘Dimarahi’
bisa ditanggapi berbeda bagi setiap anak; ada anak yang mewujudkan rasa sedih
dan kecewanya dalam bentuk stress atau bahkan frustrasi, ada juga yang
mewujudkannya sebaga tindakan defensif dan pemberontakan; yang tentunya
keduanya adalah sesuatu yang negatif. Menurut pengalaman saya sendiri sebagai
anak dengan karakteristik melankolis, ‘marah’-nya Bapak atau Ibu atau orang
lain di sekitar saya menimbulkan reaksi lanjutan stress dan frustrasi. Saat
masih kecil, setiap kali dimarahi, pasti hari berikutnya saya akan demam
(sepertinya karena frustrasi yang berdampak kepada fisik) :D. Sedangkan setelah
lebih dewasa, meskipun reaksi saya tidak lagi seekstrim itu, rasa sedih yang
mendalam dan tidak terima dengan perlakuan itu masih tetap ada. Dan mungkin
karena itulah, saya selalu merasa sangat-sangat bersalah setiap kali kelepasan
memarahi Ganesh, karena bagi saya dimarahi orang-tua itu sangat-sangat
menyakitkan ‘_’.
Ah,
tapi itu kan saya, sepertinya Ganesh tidak se-melankolis saya deh :D. But still, yang namanya marah itu
dampaknya tidak baik pada anak kan… jadi memang harus diminimalkan seminimal
mungkin!
***
Dulu,
semasa masih anak-anak, saya berpikir bahwa Bapak atau Ibu marah itu ya karena
mereka tidak mau mengerti perasaan anak. Tapi, setelah dewasa dan lebih matang,
saya baru sadar bahwa orang ‘jahat’ pun tidak serta merta menjadi ‘jahat’ (mengutip
kata-kata Dave Pelzer). Pasti ada suatu peristiwa, bahkan sejarah yang
melatarbelakangi seseorang melakukan tindakannya sekarang. Ada orang-orang yang
memang memiliki riwayat hidup yang menciptakannya menjadi seseorang yang
‘pemarah’ atau ‘kurang pengertian’. Ada juga, situasi jangka pendek yang
membuatnya seseorang yang biasanya lembut menjadi mudah ‘marah’; kelelahan atau
stress itu tadi misalnya.
Untuk
permasalahan yang sudah menyangkut kepribadian dan sulit diatasi sendiri,
mungkin kita perlu berkonsultasi dengan orang yang lebih ahli (psikolog). Tapi
tentunya dengan kesadaran bahwa, perubahan itu hanya mungkin terjadi dengan
niat dan kuasa kita, sementara psikolog hanya memfasilitasi saja. Sedangkan
untuk masalah yang masih dalam kategori normal dan bisa dikendalikan, kadang
kita hanya perlu melakukan beberapa trik untuk me-manage emosi supaya tidak sampai membawa dampak (yang terlalu)
buruk pada orang di sekitar kita. Dan berikut adalah cara yang menurut
pengalaman saya bisa dilakukan:
- Niat
dan motivasi! Niat itu penting, karena hal
ini adalah proses yang berlangsung terus-menerus, me-maintain emosi adalah proses yang berkelanjutan bukan. Karena itu,
untuk mendapatkan motivasi yang kuat, kita perlu menyadari sepenuhnya
dampak dari amarah pada anak-anak; betapa itu akan membuatnya sedih dan
kecewa serta dapat berdampak buruk bagi aspek psikologisnya. Sehingga,
dengan demikian, kita pun akan merasakan urgensi yang kuat untuk
menghindari tindakan marah-marah sebagai pelampiasan emosi pada anak ini.
- Kenali
diri sendiri! Apa sih yang kita rasakan?
Mengapa kita merasakannya? Apa saja yang membuat kita sedih, marah, dan
sebangsanya? Hal ini penting diketahui agar kita bisa memahami diri kita
sendiri, sehingga bisa menyadari kondisi-kondisi yang memojokkan kita
untuk bereaksi secara emosional dan mengarah pada tindakan negatif. Dengan
menyadari hal-hal yang membuat kita ‘naik darah’ dan juga tanda-tanda
emosi marah dalam diri kita sendiri sedini mungkin (meskipun hanya
hitungan detik), bisa mengubah tindakan yang akan kita lakukan kemudian.
- Selesaikan
masalah dalam diri kita! Semua pasti
merasakan hal yang sama, bahwa kondisi stress
dan tertekan akan membuat kita lebih emosional atau mudah marah. Karena itu,
sebisa mungkin, kita harus berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang
membuat stress tersebut; misalnya masalah pekerjaan atau hubungan sosial
dengan lingkungan kita. Cara menyelesaikannya tidak melulu dengan menyelesaikan
si akar permasalahan; misalnya kita sedang dibuat kesal oleh perilaku teman
kerja, maka diselesaikan dengan membicarakan masalah ini pada si teman. Tapi
bisa juga dengan berusaha berdamai dengan perasaan kita sendiri, dengan
memberikan pengertian pada ‘hati’ kita, bahwa manusia memang diciptakan
dengan beragam karakter, sehingga kita tidak perlu menganggapnya terlalu
serius.
- Relaksasi!
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meringankan stress maupun emosi marah yang kita rasakan adalah dengan
relaksasi. Dan yang paling mudah dan dapat dilakukan dengan cepat adalah
dengan mengatur napas (seperti pada video Sesame Street di bawah ini), yaitu menarik napas panjang dan menghembuskannya
yang bisa dikombinasikan dengan sugesti-sugesti positif, misalnya dengan
berkata pada diri sendiri, “Sabar…
sabar…” atau berucap “Astaghfirullah…” (bagi seorang muslim).
- Menghindar!
Jika menyadari adanya emosi marah dalam diri kita dan sekiranya kita takut
akan melakukan tindakan-tindakan yang merugikan, ada baiknya kita
menghindar beberapa saat, misalnya berpindah ke ruangan lain. Sehingga
kita memiliki waktu sendirian untuk meredakan emosi marah yang siap meledak,
misalnya dengan menarik napas panjang seperti pada poin 4. Selanjutnya,
setelah mampu mengendalikan emosi, baru kembali berinteraksi dengan orang
lain.
- Maaf… Sebaiknya, kita memang tidak marah dan menyakiti hati anak kita. Namun, jika terlanjur melakukannya, meskipun kata ‘maaf’ tidak selalu bisa mengobati luka yang terlanjur dibuat, tapi setidaknya kata itu bisa mengurangi rasa sakit yang kita timbulkan. Setidaknya, dengan kata itu, anak akan mengerti bahwa perasaannya adalah hal yang penting bagi kita, dan saat tindakan kita menyakitinya, kita pun merasakan penyesalan. Sehingga rasa sedih dan kecewa pada anak tidak berlarut-larut menjadi perasaan bahwa dia tidak disayangi dan dimengerti.
***
Memandang
mata Ganesh yang menangis sore itu, seketika membuat saya ikut menangis dan
memeluknya. “Maafin Mama Anesh… Mama
seharusnya tidak marah dan mencubit Anesh…” Ganesh pun dengan tangis yang
mulai mereda berkata, “Kenapa Mama marah?”
Saya pun menjawab, “Mama kecapekan, jadi
gampang marah sama Ganesh… Ganesh ga nakal kok, Mama yang nakal, harusnya kita
ga boleh cubit orang seperti itu… Maafin mama ya Anesh…” Dan dengan
polosnya Ganesh berkata, “Iya…”
sambil memeluk saya. Benar-benar ketulusan yang menampar hati saya, anak itu
sama sekali tidak bermaksud menyakiti saya. Dia hanya ingin bermain dan
menggoda saya, dia melakukannya karena menyayangi saya dan ingin mendapatkan
perhatian saya. Saya harusnya lebih mengerti perasaannya dan lebih bersabar. Sebuah
momen yang mengingatkan, betapa saya harus pandai-pandai mengelola emosi saya,
sehingga tidak sampai menjadikan anak polos itu sebagai pelampiasan. Dan itu
adalah alasan mengapa saya membuat tulisan ini. Untuk mengingatkan diri saya
sendiri…
With
Love,
Nian
Astiningrum
-end-
Referensi:
Referensi:
- American Psychological Association. (_____). Anger. http://apa.org/topics/anger/index.aspx. Diakses tanggal 16 Desember 2014.
huwaaaa...belakangan intensitas marah sy sm krucils rasanya makin meningkat mak...meski akhirnya selalu sy lalu menangis dan menyesal. walopun kemudian kemarahan berganti tawa dan ceria, tp lumayan mengganggu juga acara marah2an ini. hiksss saya terganggu bgt dan suka hopeless....hikss
ReplyDeleteTFS mak
Iya.. kadang meskipun setelah kita tidak lagi dikuasai emosi dan akal sehat sudah kembali, rasa bersalah itu selalu datang.. dan kadang meskipun sudah meminta maaf, kita sendiri belum bisa memaafkan diri sendiri '_'
DeleteRasanya kok tega banget ya kita ping pong perasaan anak, padahal nyatanya dia masih begitu polos dan niat bikin kita marah sama sekali ga ada..
Tapi tenang mbak, ini hal yang manusiawi, kita pasti bisa meminimalkannya.. semangat ;)
saya klo udah ga tahan bgt, pakain jurus yg no 5 mak...
ReplyDeleteIya.. kalo sedetik akal sehat masih bertahan, daripada kelepasan, mendingan menghindar dulu.. baru setelah agak lega, kita temuin lagi anak kita..
DeleteSebisa mungkin jangan sampai dia jadi pelampiasan emosi kita..
Sepakat bahwa pasti ada penyebab menjadi 'jahat', termasuk suka marah2. Aku sih biasanya Istigfar n menghindar kl udah mulai memuncak amarahnya. Kalau lagi capek or ngantuk, wih gampang banget kesulut emosi
ReplyDeleteBetul.. betul..
DeleteKadang kalo udah ngantuk dan leyeh-leyeh.. udah pesen aja sama Ganesh, "Ganesh Mama ngantuk, nanti kalo Mama marah-marah tolong diingetin ya.. Jangan marah-marah Mama! Gitu"
Makasih tips-tipsnya Mak... saya jg gampang tersulut emosinya nih, hiks..
ReplyDeleteSama-sama Mak.. yah, manusiawi kok, yang penting kita berusaha.. insyaallah bisa meminimalkan.. semangat ;)
DeleteWaaaah... penting inih buat saya yang lumayan gampang tersulut emosinya :D
ReplyDeleteToss,
DeleteKalo udah capek, ngantuk.. gampang banget kesel..
Sama-sama berusaha Mak.. insyaallah bisa!
Jangan sampai anak kita jadi sasaran emosi kita.. emaknya yang sangat dia sayang ini ;)
Suka bt kalo mama marah.. tapi kita pun harus memahaminya..
ReplyDeleteSama Vanisa.. saya juga sebal kalau dimarahin bapak atau ibu saya..
DeleteBahkan, saya sampai berpikir kalau mereka ini kurang memahami saya, saya jadi pelampiasan permasalahan mereka.. bla-bla-bla..
Tapi, seiring bertambahnya kedewasaan, rasanya tidak ada gunanya terus menyalahkan..
Mencoba memahami dan melihat dari sisi mereka terasa lebih melegakan..
Ingat, pasti ada penyebab seseorang menjadi pribadi yang seperti apapun ;)