Malam itu, saya duduk terdiam di
kursi depan kamar tidur Ganesh… Bukan tanpa sebab, hari itu saya kembali merasa
gagal sebagai seorang ibu, karena ini adalah kesekian kalinya kerasnya kepala
saya beradu dengan kerasnya kepala Ganesh. Umurnya baru akan menginjak 3 tahun
pada 24 Juni 2014 ini, tapi cetak biru kekerasan hati dan kepalanya sudah terasa begitu nyata. Sifat yang beberapa kali sukses membuat saya
kehilangan segala macam rencana sikap dan teori pengasuhan yang sudah saya
niatkan. Hingga akhirnya, perpecahan pun tidak dapat dielakkan; Ganesh ngotot dengan apa yang diinginkan dan
dipercayainya, sementara saya merasa frustrasi karena gagal menjelaskan dan
membujuknya hingga akhirnya berkata dengan tidak kalah keras, “Ya udah, kalau
Ganesh maunya begitu, Mama ga mau ikut main!” Duh, please, jangan
ditiru ibu-ibu semua, ini benar-benar sesuatu yang bukan hanya tidak benar
untuk dilakukan, tapi juga tidak efektif! Karena nyatanya, Ganesh tetap kukuh
dengan pendiriannya tuh, sementara
saya hanya makin frustrasi karena tidak berhasil membujuk disertai rasa sesal dan gagal :(.
Tapi, merasa gagal saja tentu
sama sekali bukan solusi! Daripada saya hanya larut dalam
kesedihan, rasanya lebih bermanfaat bagi saya (dan juga teman-teman yang
membaca) untuk kembali merumuskan bagaimana cara berdamai dengan anak-anak yang
cukup ‘keras kepala’ (stubborn) dan
juga dengan gengsi yang mengaduk-aduk
emosi kita. Karena, katanya kan
sesuatu yang lebih nyata akan lebih memberikan motivasi, jadi harapannya dengan
saya menuliskan semua ini, saya akan lebih termotivasi untuk berusaha lebih
keras! Berusaha lebih keras tidak terpancing untuk beradu ‘keras kepala’ dengan
Ganesh dan bisa melakukan respon yang lebih baik untuk kami berdua. Amin :).
Ganesha si ‘berlian ceria’ kami :D
Alasan kami menyebutnya seperti itu di bawah ini :P
|
***
Ganesh itu, memiliki rasa ingin
tahu yang sangat tinggi, setiap kali menemukan fenomena yang menarik, pasti dia
ingin mengetahui seluk-beluknya sampai dia benar-benar paham. Misalnya nih, dia melihat kupu-kupu terbang, maka
dia akan bertanya, “Kok bisa terbang?” Nah,
kalau pertanyaan seperti ini sih
penjelasannya cukup mudah, “Kan dia punya sayap, Anesh…”, selesai kan :D. Tapi beda lagi kalau tanyanya
seperti ini:
Ganesh
|
:
|
“Kok
hujan Mama?”
|
Saya
|
:
|
“Iya,
kan di awan ada airnya”
|
Ganesh
|
:
|
“Kok
ada airnya Mama?”
|
Saya
|
:
|
(Mulai
mengkerutkan dahi) “Iya, kan di tanah itu ada macem-macem air Ganesh, nah,
air itu kalau kepanasan kena sinar matahari akan jadi asap, terus naik ke
atas, ngumpul deh di awan…” (Berharap dia cukup puas dengan jawaban ini).
|
Ganesh
|
:
|
“Kok
jadi aseeeepppp?!!” (Duh, ini tanda-tanda jawaban saya kurang memuaskan dan
dia masih butuh penjelasan).
|
Saya
|
:
|
(Baiklah
Ganesh, mari kita memasak air dengan panci untuk membuktikannya :D)
|
Nah,
kalau setting-nya seperti itu,
keliatan kan ‘keras kepala’-nya si
Ganesh? Alias ngotot ingin dijelaskan
sampai dia benar-benar mengerti. Rasa ingin tahu memang sesuatu yang positif,
dan saya pun berusaha keras untuk memuaskannya. Kadang memang cukup membuat
dahi berkerut dan tidak sabar, tapi ini tipe keras kepala paling ringannya.
Ganesh itu, ingin melakukan semua
SENDIRIAN! Misalnya nih, pada saat
dia membongkar rak bagian bawah dispenser dan mencoba memasangnya sendiri. Dia
kelihatan kesulitan dan saya pun melihat bahwa permasalahannya adalah dia
memasang rak terbalik! Saya coba jelaskan dengan lembut, “Ganesh, coba deh
dibalik…” Masih tetep dia ngotot dan berkata, “Enggaaakkk!” Lagi dia coba,
sampai dinding rak yang terbuat dari plastik itu sedikit ringsek, sementara
saya masih mengamati dengan penampakan se-cool
mungkin walau hati mulai menyesalkan kekerasan kepalanya. Lagi saya coba, “Mama
bantu ya Anesh, kalo seperti itu tidak bisa…” (sambil mencoba mengarahkan
tangannya, yang ditolaknya mentah-mentah). “BISAAAA!!!” teriaknya, sambil
memaksakan si rak masuk '_'.
Posisi rak
yang saya maksud
|
Nah,
kalau yang seperti ini nih, level
lebih tinggi keras kepalanya Ganesh, lumayan menguras hati, apalagi kalau kita
sedang dalam kondisi fisik dan psikis yang kurang mendukung (lapar, kurang
tidur atau menjelang datang bulan misalnya :D). Dan selain itu, tentu ada setting-setting lain yang lebih menantang dan menguras perasaan, misalnya
di tangga eskalator minta naik sendiri dan berkali-kali, disertai dengan
tangisan bila dipaksakan tidak dituruti. Terbayang kan tension-nya, di keramaian anak ngotot
mau naik eskalator sendiri, dilemanya antara malu dilihat orang membuat
menangis anak, sementara jika dituruti itu sangat-sangat berbahaya! Duh Gusti, paringono sabar sing akeh banget
(ya Allah, berikanlah kesabaran yang banyak) '_'.
***
Sifat keras kepala anak tentu
adalah ujian tersendiri bagi setiap orang-tua, tapi berita baiknya, di balik
sifat ini sesungguhnya tersimpan ‘berlian’. Sifat keras kepala atau penolakan
anak untuk melakukan hal tertentu yang kita ajukan, merupakan pertanda adanya ‘kearifan’ (wisdom)
dalam diri anak. Sesuatu yang
membuatnya tidak mudah mengikuti kemauan orang lain yang tidak sejalan dengan ‘kearifan’
tersebut. Maureen Hayley, penulis buku ‘Growing Happy Kids’ sendiri menyebut
‘kearifan’ ini sebagai intuitive
intelligence yang seringkali menghasilkan konflik dan gesekan pada saat
seseorang (otoritas dari luar) berusaha mematahkannya.
Atau dengan kata lain, mereka
sesungguhnya sama sekali bukan sekedar ngotot,
ngeyel atau keras kepala. Mereka
melakukan respon tersebut didasari pemahaman dan kepercayaan yang tinggi sesuai
kapasitas mereka. Sesuatu yang tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk,
karena pada kenyataannya sifat dan sikap seperti ini memberikan peluang yang
besar pada mereka untuk terus belajar dan memperoleh pengetahuannya sendiri
daripada sekedar mempercayai ‘teori’ yang kita sampaikan kepadanya. Dimana
sikap ini juga akan membuat mereka lebih kuat dan tidak mudah terpengaruh
sesuatu yang ‘tidak baik’ menurut mereka. Sehingga, tantangan kita sebagai
orang-tua adalah bagaimana berdamai dengan sifat keras kepala anak ini dan
tetap menanamkan hal positif dalam diri mereka.
***
Berdasarkan pengalaman sebagai
seorang yang (katanya)
juga keras kepala,
mengamati perilaku Ganesh dan juga hasil membaca beberapa literatur, saya pun
menyimpulkan bahwa pada dasarnya seorang anak yang keras kepala tidak efektif
‘dilawan’ dengan sikap ‘keras kepala’ juga. Atau dengan kata lain, usaha untuk
‘mematahkan’ keinginan anak adalah sesuatu yang tidak efektif, karena hanya
akan menimbulkan konflik yang bisa jadi mempengaruhi psikisnya jika terus
menerus terjadi (misalnya: semakin tidak mau mendengar pendapat orang lain).
Karena itu, sikap ‘keras kepala’ ini harus diberikan respon sedemikian rupa
sehingga membuat anak berubah pikiran dengan kemauannya sendiri tanpa dipaksa.
Dan berikut adalah beberapa cara yang bisa diusahakan:
1. HINDARI SIKAP AROGAN
Adalah hal yang kita ketahui
bersama bahwa sebagai orang-tua yang telah mengalami asam garam kehidupan,
sudah pasti lebih berpengalaman dibanding anak kita. Namun, kata-kata yang
terkesan memerintah atau menggurui tanpa penjelasan, yang menunjukkan arogansi
kita sebagai individu yang lebih tahu, tidak akan mempan kepada
‘berlian-berlian’ kita. Bahkan reaksi yang akan kita dapatkan justru adalah
penolakan yang lebih kuat dan intens. Demikian juga usaha mendisiplinkan dengan
cara fisik (misalnya dicubit) hanya akan semakin menyakiti hatinya. Dan
cara-cara mendisiplinkan anak dengan menunjukkan arogansi kita sebagai orang
yang lebih tahu segalanya dan lebih kuat secara fisik, jika pun bisa, hanya
akan meninggalkan kepatuhan yang sementara dan memupuk keinginan untuk
mengalahkan. Sehingga saat dia tumbuh menjadi seorang yang lebih pintar dan
kuat secara fisik, maka dia akan semakin ‘memberontak’ untuk mengalahkan kita.
2. BEKERJA SAMA
Daripada berusaha keras
memerintahkan sesuatu yang nyata-nyata hanya akan memperburuk keadaan (anak
semakin melawan dan bertahan dengan pendiriannya), kita bisa mencoba untuk
bekerja-sama. Misalnya, pada saat kita menginginkan anak membereskan mainannya,
seringkali kata-kata disertai tindakan seperti, “Ganesh kita beresin mainannya
sama-sama yuk…”, jauh lebih efektif daripada sekedar kata-kata, “Ganesh, liat
tuh mainannya berantakan, beresin dong!”
3. NEGOSIASI
Seorang anak dengan karakteristik
ini memiliki kebutuhan yang besar untuk dihargai pendapatnya, maka dari itu,
jangan langsung patahkan keinginan mereka, tapi bernegosiasilah. Misalnya pada
saat anak meminta susu padahal sudah gosok gigi, dan ternyata usaha kita
menasehatinya tidak mempan, maka kita bisa mencoba bernegosiasi dengan
mengatakan, “OK, Ganesh boleh minum susu, tapi habis itu kumur-kumur pake air
putih ya…”
4. MENJADI SOSOK YANG MENGINSPIRASI
Nah,
kalau yang ini mutlak penting dan menurut saya adalah hal yang paling sulit,
yaitu menjadi sosok yang bisa menginspirasi anak kita. Seorang anak dengan karakteristik
‘keras kepala’ sudah barang tentu akan menolak pendapat seseorang yang
dinilainya tidak hebat, pintar atau cerdas menurut mereka. Karena itu, sebagai
orang-tua kita harus membangun reputasi di depan anak. Caranya diantaranya
adalah dengan bersikap tenang dan bijaksana, berkata jujur, sabar menjelaskan,
dan sebagainya. Dalam hal ini, selain berusaha membuktikan bahwa kita adalah
orang-tua yang cerdas, kita pun harus membuktikan bahwa kita mencintai dan
mempedulikannya.
***
Bagaimana menurut teman-teman? Kalau menurut saya sih, keempat langkah tersebut akan lebih
efektif untuk bisa berdamai dengan ‘berlian-berlian’ kita yang keras daripada
bersikukuh mematahkan kepercayaan mereka. Iya, tentu saja melakukan keempat hal
bukanlah hal yang mudah dan bahkan sangat sulit, tapi harus selalu kita
usahakan, karena ibarat berlian, anak-anak yang ‘keras kepala’ ini bisa menjadi
batu berharga yang mahal harganya jika diasah dengan tepat, atau justru pecah
menjadi serpihan-serpihan kecil bila kita memukulnya terlalu keras.
Iya, memang menjadi orang-tua
yang baik itu bukan perkara gampang '_'. Benar-benar menimbulkan rollercoaster
emosi, ada kalanya rollercoaster itu
membuat saya ‘mual’ dan ‘memuntahkan’ amarah kepada
Ganesh, tapi ada kalanya saya tetap bisa ‘memeluk hatinya’ meskipun terlempar naik dan turun :D. Dan semua ini, tidak sesederhana
mengetahui apa yang harus kita lakukan, tapi juga bagaimana kita mampu
mengelola hati (emosi) dan pikiran (logika) sehingga mampu melakukan tindakan
yang membawa dampak positif bagi anak dan diri kita sendiri. Tidak mudah memang, tapi insyaallah kita bisa! :)
Apakah teman-teman merasakan hal yang sama dengan saya? :D
Apakah teman-teman merasakan hal yang sama dengan saya? :D
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Readings:
- Healy, M.D. (07-01-2013). The Highly Sensitive (and Stubborn) Child. http://www.psychologytoday.com/blog/creative-development/201301/the-highly-sensitive-and-stubborn-child. Diakses tanggal 20 Mei 2014.
hmm.. kadang saya juga lihat di stasiun, mall atau di pasar ada anak yg keras kepala banget Mba, sampe ibunya kadang nyerah karna sudah kepepet ya.. dengan sedikit pemaksaan.
ReplyDeleteTerimakasih sharingnya.. itu berguna juga untuk saya yg menghadapi anak2 orang lain setiap harinya.. :)
Mak Riski guru ya.. profesi yg keren sekali itu, mendidik anak-anak menjadi pribadi yg berkarakter itu sesuatu yg luar biasa keren dan mulia.. serta penuh tantangan juga tentunya :D
DeleteSemoga bisa menjadi inspirasi Mak ;)
buah jatuh ga jauh dari pohonnya kali ya Mba. jadi teringat si Dapis. hix.
ReplyDeleteIni Anna Maria yg satu angkatan sama Davis ya :D
DeleteHihi, mungkin juga begitu ya.. like father like son :D
Makasih sudah berkunjung ;)
Makasih mak sharenya, saya suka ngga sabaran Kalo anak ngotot:)
ReplyDeleteAda award dari saya untuk mak Niam..silahkan dicek
http://buahhatiayahbunda.blogspot.com/2014/05/the-liebster-award-dari-saya-untuk-kamu.html
Hihi, tos, sama berarti kita, tapi tetep berusaha dan berusaha kan yak :D
DeleteSipp, saya terima tongkat estafetnya, insyaallah segera dikerjakan ;)
Setuju mak, keras jangan di lawan dengan keras juga. Lawanlah dengan kelembutan dengan didahului pujian, coba beri saran, dan tanyakan pendapatnya. Selamat ber-roller coaster ;)
ReplyDeleteIyup, bener banget Mak..
DeleteHehe, semoga saya bisa jadi ibu yang lebih baik ya Mak Indah :')
Hehe... tapi biasanya anak seperti ini akan luluh klo di lembutkan malah. Atau diberi penjelasan sebab dan akibatnya jadi dia akan puas
ReplyDeleteBener Mak.. tapi ga sesederhana itu :D
Delete1. Meskipun penjelasan kita bener, tapi dia belum ada gambaran, pastinya dia akan nuntut dijelaskan lebih (pe-er-nya di menjelaskan dg sederhana)
2. Meskipun dia sudah tahu, tapi belum merasakan, jadi tetap menolak (misalnya suruh gosok gigi, meskipun sudah dijelaskan dengan video dan contoh, tapi seringkali tetep kukuh, "Enggakkkk!" karena belum merasakan sendiri
3. Dijelaskan pun, jika baginya si pemberi info tidak kredibel, dia ga akan lantas percaya.
4. Etc. banyak faktor lain yg juga..
Satu lagi, seorang anak yg sensitif dan keras kepala menurut saya memiliki kekerasan dlm dua hal, yaitu 'hati' dan 'kepala'..
hati/perasaan: dia akan cenderung untuk kukuh mempertahankan pendiriannya, disini kerasa gengsinya gede :D.
kepala/logika: dia tidak mudah puas/percaya dengan penjelasan kita..
Setuju kan Mak :D
Postingannya mak bagus, saya suka :) berasa lagi baca artikel di website khusus parenting.. Wah, saya juga masih berjuang mak jadi ibu yang bijak, sabar dan lembut, gak mudah memang tapi seperti kata mak, insya Allah pasti bisa !
ReplyDeleteMakasih Mak Arifah, tersanjung banget :D
DeleteSaya memang hobi dengan pernak-pernik seperti ini Mak..
Iya, jadi ibu yg baik memang tidak sederhana, tapi insyaallah selama ada kemauan kita bisa terus belajar dan berusaha ;)
waaa... saya punya 3 yang keras kepala, persis seperti saya... makasih share nya ya :)
ReplyDeleteiya sama-sama Mak.. ini juga saya sekalian mengingatkan diri sendiri.. *kasusnya sama, saya keras kepala, anak juga ga jauh beda.. hihi '_'
Delete