Karena bingung dengan definisi baku kata ‘kudang’ dari Bahasa
Jawa, akhirnya saya beri judul tulisan ini seperti di atas. Saya tidak tahu,
apakah pelafalan saya yang salah, ataukah memang kata ini belum terindeks di
Kamus Bahasa Jawa yang ada, tapi saya benar-benar tidak menemukan arti kata ini
melalui Google Search. Yang saya temukan malah ‘kudang’ itu diterjemahkan
menjadi ‘sadly’ dalam Bahasa Inggris…
Bukan ‘kudang’ ini yang saya maksud :(
|
Dan sayang sekali, bukan ‘kudang’ itu yang saya maksud.
‘Kudang’ yang saya maksud adalah semacam senandung riang yang didendangkan oleh
orang untuk bayi-bayi supaya mereka terhibur dan berjingkrak-jingkrak. Kalau menurut @KamusJawaID, 'kudang' itu diterjemahkan ke Bahasa Indonesia menjadi 'timang'. Nah, kalau ini lebih bisa diterima, hanya saja menurut saya 'kudang' itu memiliki melodi yang selalu ceria, sementara 'timang' tidak. Mungkin,
teman-teman lain yang berasal dari Jawa khususnya Jogja bisa memberikan
definisi yang lebih terbayangkan dari ini ya :D. Lirik dan melodi dalam kudangan sendiri tidak memiliki batas,
mulai dari yang memiliki arti sampai yang hanya berupa bunyi-bunyian. Misalnya
seperti ini: (dendangkan dengan ceria ya…) “Anak
mama pinter banget! Anak mama pinter banget!” atau “Tak kintong kintong! Tak kintong kintong!”. Bagi yang tidak pernah
tinggal di lingkungan Jawa kira-kira sudah bisa menangkap apa itu kudang belum ya? Hihi :D
Jadi ceritanya ada cerita spesial tentang kudang yang ingin saya dokumentasikan
disni. Iya, karena dulu saya pernah dikudang
dan sekarang pun ternyata juga saya
seringkali mengkudang Ganesh dengan
senandung gubahan saya sendiri. Beberapa waktu yang lalu, seorang paman yang
saya panggil Om Dono menulis sebuah pesan melalui akun Google+ nya, seperti
ini:
“Dikintong-kintong Mamak”
Kata-kata 'kintong-kintong' seringkali didendangkan
‘Mamak’ (panggilan Bude) untuk menenangkan saya
|
Membaca komentar paman saya tersebut, rasa rindu pada kampung
halaman pun langsung bergulung-gulung
datang. Mendadak teringat kenangan masa kecil dulu, dimana saya dibesarkan
bersama-sama oleh kedua orang-tua, bude dan paman saya di rumah simbah.
Masa-masa dimana seringkali saya membuat ulah dengan menangis semalaman,
mengganggu Om Dono yang waktu itu sedang belajar untuk ujian, dan tidak kunjung
diam meskipun sudah dikintong-kintong
oleh Mamak karena Ibu sendiri sudah kelelahan menenangkan saya. Hehe, konon katanya, saya memang cukup
merepotkan pada saat masih bayi :D.
Sekarang, tak terasa 28 tahun sudah berlalu dari masa itu.
Bayi kecil yang dulu selalu menangis dari jam 21:00 sd. 02:00 WIB setiap hari
itu, sudah mandiri dan memiliki keluarganya sendiri. Sesuatu yang ternyata
membanggakan untuk orang-orang yang dulu pernah merawat dan membesarkan saya
dengan berbagai suka dukanya. For honest,
rasanya benar-benar mengharukan… :)
Oh ya, mungkin karena terbiasa dengan cara pengasuhan dengan kudang-mengkudang, saya pun memiliki kudangan
untuk Ganesh anak saya. Saya lupa sejak umur berapa kudangan ini saya dendangkan untuk Ganesh, mungkin sejak dia bisa
tertawa pada umur empat bulan. Lirik dan melodinya juga tidak direncanakan sama
sekali, spontan saja keluar dan selalu berulang setiap kali sedang
menggendongnya hingga saat ini. “Anak tunot…
ndandut! Anak tunot… ndandut!”, berulang-ulang saya dendangkan.
Sampai-sampai suami saya berkali-kali bertanya, “Apaan sih tunot-tunot itu?” atau “Tunot itu siapa sih?” atau sengaja menggoda, “Ganesh tuh anak Tunot lho, bukan anak Papa-Mama…” Haha, seringkali
geli mendengar komentar suami. Mungkin budaya kudangan ini tidak ada dalam budaya Probolinggo – Jatim, sehingga
baginya dendangan saya terdengar lucu dan konyol. Saya sih sudah berusaha menjelaskan, berkali-kali malah, tapi sepertinya
telinganya tetap menganggap kudangan
saya sesuatu yang aneh, sehingga komentar-komentarnya masih kerap terdengar. Hihi, it’s OK, saya malah terhibur kok
dengan komentar-komentar suami yang menggelitik itu :D.
Sebenarnya suami juga pernah kok ngudang anak
lanangnya ini, yah tapi memang liriknya tidak seaneh yang saya buat. Seperti
ini nih…
Meskipun kuno, kudang yang merupakan ekspresi kasih sayang orang-tua (atau orang dewasa lainnya) pada anak tentu memiliki sisi positif, selain nguri-uri kabudayan Jawi (melestarikan Budaya Jawa). Pertama, menurut saya tentu saja karena merupakan kasih-sayang orang-tua terhadap anak, anak akan merasa diperhatikan dan bahagia. Dan kedua, juga memberikan stimulus yang kaya untuk dipelajari anak; berupa suara, melodi, vokal serta ekspresi wajah.
Hihi, mungkin agak lebai ya saya menganalisis kudang-mengkudang ini :D. Sebenarnya tidak bermaksud menganalisis kok, awalnya saya hanya membayangkan
jika suatu saat Ganesh berada di posisi saya, dan saya berada di posisi paman
saya. Pada saat itu saya memuji Ganesh yang sudah berhasil menjadi seseorang
dan Ganesh mengingat masa kecilnya yang berusaha kami isi dengan kasih sayang. Yah, meskipun tentu saja terkadang juga kena
marah, tapi kan jarang-jarang ya Le… :*. Tapi, kalau menilik bahwa kudang-mengkudang ini punya manfaat, tidak ada salahnya dong terus dilakukan
;). Hayo siapa lagi yang suka menggubah lirik dan melodi konyol untuk ngudang anaknya? :D
With Love,
Nian Astiningrum
kudang ya istilahnya mbaaa...menyenangkan sekaliiii....mungkin secara ngg sadar, saya juga sering melakukannya bareng anak-anak...selain seruuu dan lucu, juga buat melepas streesss :D...tapi kudang yang tradisional pasti lebih kereeen....salam kenal dan seklaian mengundan ikutan GAku yaa...kalau berkenan, monggo dicek di http://indahnnuria.blogspot.com/2013/11/my-itchy-feet-2-giveaways-for-dear.html yaa...
ReplyDeletehalo mbak Indah.. betul, buat menyalurkan kegemesan juga.. hihi :D..
Deletesiap, mampir sekarang nih.. siapin teh ya :D
Ya bener, di Ngawi istilahnya juga kudang,ngudang, .... "Dang ding ding dang dut...dang ding ding dang dut"," ganteng ganteng dewe...alah ganteng ganteng dewe".,,, banyak, tergantung kreativitas masing2 pengudang.biasanya sambil menggoyang2kan bayi, atau bayi diberdirikan trs diangkat2 gitu.
ReplyDeletekalo saya termasuk nembang tak lelooo lelo lelo ledhunggg...cup menenga anakku cah baguuus... dst hihihi
ReplyDelete