"Ganesh,
Adek makannya gantian disuapin Simbah ya…” saya berkata sambil menyodorkan piring sarapan Ganesh ke simbah
(pengasuhnya). Dan Ganesh pun buru-buru menyorongkan piring itu kembali ke saya
sambil berkata, “Sama Mama aja!”
Setelah beberapa lama merayunya dan merasa usaha saya sia-sia karena Ganesh
tetap menolak, akhirnya saya merubah taktik. “Adek, kita kasih makan marmut Kakak Deden yuk.” Ganesh pun
beranjak berdiri dan berkata, “Sama
Mama!” sambil menarik tangan saya dan saya pun mengalah mengantarkannya ke rumah tetangga yang memelihara
marmut. “Dah, tuh marmutnya dikasih makan
dulu sana, sama Simbah ya…” kata saya kemudian. Karena terbiasa memberi
makan si marmut dengan pengasuhnya, dia pun
mendekati kandang marmut dengan simbah saja, sambil sebelumnya berkata, “Mama tunggu sini aja!”. Setelah
beberapa kali menoleh memastikan keberadaan saya, dia pun lupa karena terlalu asyik memberi makan marmut-marmut itu, dan
saya pun berjingkat-jingkat meninggalkannya untuk bersiap-siap ke kantor.
Saya dan Simbah Pengasuhnya: Dua Figur Attachment Ganesh |
Hmm, lucu ya… Iya sih, benar-benar indah mengalami kejadian itu tiap pagi dari Hari Senin sampai Jumat sebelum saya berangkat ke kantor. Saya hanya tidak suka bagian dimana saya harus terlambat berangkat ke kantornya :D
Dan suatu hari suami pun
menyeletuk, “Sekarang Ganesh manja banget
ya sama Mama, ga papa tuh ya?” Hmm,
saya jadi merasa tergelitik dengan pertanyaan ini, karena merasa bahwa ada
banyak orang yang merasakan hal yang sama anaknya terlihat manja. Padahal,
sebenarnya hal ini bisa jadi merupakan pertanda kesehatan perkembangan
emosi-sosial anak pada usia tertentu, berikut penjelasannya…
"Adek Sayang Papa" Ujar Ganesh Sambil Mencium Papanya |
Secara kasat mata memang Ganesh kelihatan manja ya dan
mungkin memang bisa dikatakan seperti itu, namun dalam artian yang positif.
Kelekatan atau attachment dengan
pengasuh atau primary caregiver
(dalam hal ini biasanya adalah ibu) merupakan salah satu tahap perkembangan
sosial seorang bayi; dimana keberhasilan dalam tahapan ini mempengaruhi
kemampuannya untuk bersosialisasi di masa depan. Secara kasat mata,
tahapan ini terlihat dari perilaku bayi sebagai berikut (Ainsworth,
1973; Bowlby, 1969):
- Newborn sd 2 atau 3 bulan: tahap dimana bayi merasakan ketertarikan dengan berbagai stimuli, terutama yang berasal dari manusia; namun belum menunjukkan preferensi pada orang tertentu.
- 2 atau 3 bulan sd 6 atau 7 bulan: bayi mulai menunjukkan ketertarikan lebih pada orang-orang terdekat, meskipun mereka masih cenderung ‘ramah’ kepada orang asing.
- 6 atau 7 bulan sd kurang lebih 3 tahun: merupakan masa dimana bayi mulai membangun kelekatan yang sebenarnya, biasanya dengan ibunya. Pada tahap ini, bayi mulai aktif untuk mencari figur kelekatannya; mendekati ibunya, menangis bila ditinggalkan dan gembira bila ibunya datang. Segera setelah seorang bayi membangun kelekatan dengan ibunya, dia pun akan mulai membangun kedekatan dengan orang dekat lainnya; seperti ayah, pengasuh, kakek-nenek, dsb.
- 3 tahun keatas: menginjak usia 3 tahun, kemampuan sosial kognitif anak sudah berkembang sehingga mampu membangun hubungan yang didasari oleh tujuan tertentu. Maksudnya apaan nih? Hmm, jadi pada saat ini, anak mulai mampu mempertimbangkan tujuan dan rencana orang tua (figur kelekatannya); misalnya mampu memahami saat ibu harus meninggalkannya beberapa saat untuk ke kantor, sehingga mampu mengendalikan kebutuhannya akan perhatian ibu sampai kedatangan ibunya.
Nah, berdasarkan tahapan perkembangan kelekatan tersebut,
maka bisa disimpulkan bahwa di usia Ganesh saat ini (1 tahun 9 bulan) adalah
hal yang wajar jika dia mati-matian ga
mau saya tinggal; karena kemampuan sosial kognitifnya belum cukup matang untuk
mampu memahami alasan saya meninggalkannya. Jadi, manjanya Ganesh bukan sesuatu
yang negatif ya…
Selanjutnya, perlu diketahui juga bahwa sikap Ganesh yang
kelihatan manja itu justru salah satu tanda bahwa dia mampu membangun kelekatan
yang sehat (secure atachment) dengan primary caregiver-nya, dalam hal ini saya
sebagai ibunya. Terbentuknya secure
attachment ditandai dengan keberaniannya untuk secara aktif menjelajahi
ruangan seorang diri atau berinteraksi dengan orang asing selama selama ada
saya, suami atau pengasuh di dekatnya. Pernah suatu hari kami kedatangan tamu
mahasiswa yang magang di kantor, dengan percaya dirinya Ganesh bernyanyi dan berjoget
kemudian mengajak kedua tamu itu ikut berdiri dan berjoget :D. Pertanda lain
adalah ekspresi sedih yang ditunjukkan Ganesh saat berpisah dengan saya, dan
sambutan hangatnya setiap kali saya pulang, serta perasaan nyamannya selama
bersama dengan saya. Ini jelas sekali terlihat setiap kali dia menyambut
kedatangan saya dengan senyum lebar dan lari kecil ke arah saya.
Terbentuknya secure
attachment ini sangat penting untuk perkembangan sosial dan emosi anak kita
di masa depan. Dengan bekal secure
attachment-nya di masa bayi, anak akan mampu membangun hubungan yang baik
dengan teman sebaya di masa kanak-kanak, kemudian di masa remaja akan mampu
menjalin hubungan yang intim dan akan mampu membangun hubungan romantis yang
positif secara emosional dengan pasangannya di awal masa dewasa.
Hubungan antara Secure Attachment dan Perkembangan Hubungan Sosial Anak |
Selanjutnya, selain secure
attachment, terdapat empat jenis kelekatan lain, yang pastinya tidak kita
harapkan untuk terjadi pada anak kita; yaitu resistant (menentang), avoidant
(menolak) dan disorganized-disoriented
(tidak mengikuti pola tertentu); ciri-ciri masing-masing jenis ada di gambar
berikut:
Empat Tipe Attachment dan Perilaku yang Ditunjukkan: Secure, Resistant, Avoidant dan Disorganized-Disoriented |
Ada beberapa faktor yang menentukan kualitas kelekatan bayi
dengan ibunya, salah satunya adalah faktor si ibu itu sendiri… Agar bayi
membangun secure attachment, pada
dasarnya kita harus sebisa mungkin sensitif
dan responsif akan kebutuhan emosional bayi karena perasaan ini dibentuk
perlahan-lahan dari interaksi-interaksi dimana kita bisa membuat bayi merasa
aman. Interaksi seperti pada saat bayi kita menangis dan kita berusaha
menenangkannya atau pada saat kita menunjukkan ekspresi antusias yang sama pada
saat bayi kita sedang bermain dengan bersemangat. Saat kita memberikan pujian
kala dia merasa bangga akan hasil karyanya yang mungkin adalah buku yang
dirobek atau dicoret-coretnya, sesuatu yang sebenarnya membuat kita ingin marah.
Kata kunci selanjutnya bagi orang-tua untuk membantu bayi
membentuk secure attachment adalah konsistensi. Karena jika pada satu saat
kita mampu merespon kebutuhan emosional bayi, tapi pada saat yang lain kita
justru membuatnya semakin sedih/marah, tergantung mood; maka keadaan ini akan membuat bayi tidak mampu membangun
kepercayaan kepada ibu dan membangun resistant
attachment. Selain itu, kita juga harus memberikan respon/stimulus sesuai porsi kebutuhan yang ditunjukkan
bayi, karena respon/stimulus yang berlebihan atau terlalu sedikit akan membuat
bayi belajar untuk menghindar (avoidant
attachment); menghindar karena merasa kebutuhan emosionalnya tidak
terpenuhi atau justru karena merasa kewalahan dan terganggu dengan terlalu
banyaknya respon yang diberikan.
Adalah hal yang manusiawi jika terkadang kita tidak dalam
kondisi mood yang mendukung, sehingga
menjadi kurang sabar dan justru menghancurkan harapan seorang anak yang ingin
diyakinkan bahwa ada seorang ibu yang mengerti perasaan dan kebutuhannya. Ada
kalanya kita tidak bisa meladeni anak yang begitu antusias bermain dan
membutuhkan respon kita. Akan tetapi, tentu bukan hal yang kita inginkan jika
akhirnya anak membentuk pola attachment
yang tidak sehat. Dalam pengalaman saya, untuk mengatasi hal ini dibutuhkan dua
hal, yaitu komitmen pada diri sendiri
dan kesadaran akan kondisi emosi
kita.
Well, idealnya memang kita selalu bisa berpikir bahwa anak kita belum
cukup matang sehingga wajar jika melakukan hal yang terkadang menjengkelkan.
Tapi, dalam dunia nyata, terkadang dalam sedetik saya bisa merasa tidak bisa
menahan diri dan tanpa kedua hal di atas (komitmen dan kesadaran emosi) pada
detik berikutnya akan memberikan respon yang mengecewakan bagi anak kita. Kesadaran
akan kondisi emosi kita sendiri inilah yang akan menjadi benteng terakhir, sehingga
kita bisa melakukan tindakan preventif, seperti relaksasi sederhana menarik
napas panjang untuk mengembalikan akal sehat kita.
Terkadang, menjaga diri kita untuk tidak menghancurkan
perasaan anak kita tidaklah mudah; ada kalanya capek pulang kerja, ngantuk, PMS
dan sebangsanya membuat kita menjadi emosional. Namun satu hal yang perlu kita
ingat, bagi seorang anak apa yang kita anggap hal kecil seperti menemaninya
bermain atau memberikan senyum saat dia meminta perhatian kita; sangat berarti
bagi mereka. Karena… “Bagi dunia, ibu adalah sesuatu, namun bagi
anak, ibu adalah dunianya.”
Happy
parenting :)
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Reading:
Sigelman, Carol K. & Rider, Elisabeth A. 2012. Life-Span Human Development, 7th
Edition. Canada: Wadsworth.
Wih..itudiktat kuliah adekku. tebelnya segambreng...
ReplyDeleteAdeknya kuliah Psikologi juga ya Mak :D
DeleteIya.. bukunya tebel-tebel.. kalo minjem dari perpus harus kosongin ransel dulu :D