Hmm, sebenarnya ada sih
TV di rumah, tapi sudah lebih dari setahun tidak pernah dinyalakan!
Hal ini bukan sesuatu yang kami sengaja… Semua bermula pada
saat suami lupa membayar tagihan langganan TV kabel di rumah karena sedang
banyak dinas di luar kota. Sebulan, dua bulan, sampai entah berapa bulan
tunggakan tagihan waktu itu, sampai akhirnya siaran diputus, haha… Saya sendiri
cuek-cuek saja karena memang sudah
tidak terlalu menikmati TV sejak mulai bekerja dan bertambah setelah Ganesh
lahir. Lagi-lagi bukan karena unsur kesengajaan, tapi kesibukan tidak bisa
intens mengikuti serial yang saya sukai; kadang nonton, kadang engga, jadi ga tau lagi jalan ceritanya. Dan singkat cerita, karena sudah
terlalu lama menunggak, kami malas membayar tagihannya hingga sekarang!
Dulu saya termasuk orang yang gandrung dengan TV. Acara favorit saya (seperti wanita pada
umumnya) adalah berita infotainment (seperti Silet, Check & Richeck),
serial (seperti Jewel in The Palace) dan reality
show (seperti Indonesian Idol, The X Factor dan Master Chef). Suami juga bisa dibilang pecinta TV walaupun
sedikit berbeda genre; suami saya
lebih suka chanel berita dan film.
Sebelum ada Ganesh, kami sering nonton TV berdua; tapi sejak Ganesh lahir TV
lebih sering kami cuekin, sampai
akhirnya tidak terurus seperti sekarang :D
Setahun lebih tanpa TV ternyata sama sekali tidak mengganggu
kenyamanan kami, malah sekarang kalau dipikir-pikir lebih menyenangkan. Pada
awalnya sih simpel saja; tanpa TV
Ganesh ga terganggu tidurnya, waktu
istirahat kami juga lebih teratur karena tidak ada acara menunda kegiatan
karena nonton TV, tidak ada acara bengong-bengong
di depan TV sampai mengabaikan pertanyaan orang lain (hehe..) dan ternyata
lebih damai saja meluangkan waktu setiap malam setelah Ganesh tidur sambil ngobrol berdua ditemani suara kodok dan
jangkrik di sekitar rumah :D.
Kegiatan Ganesh: [1] Ngeramin bebek; [2] Pake sandal Papa; [3] Nyobain headset Papa; [4] Mengamati kucing; [5] Masuk keranjang cucian; [6] Pake selimut bayi. |
Sekarang, entah benar atau tidak, rasanya tidak adanya TV di rumah juga berdampak positif untuk Ganesh. Karena tidak ada TV, praktis kegiatannya setiap hari hampir semua digunakan untuk bermain dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya, yang saya rasa kegiatan itu lebih merangsang perkembangannya daripada menonton TV. Tepat tanggal 24 Bulan Desember ini, Ganesh tepat berusia 18 bulan atau 1,5 tahun. Sampai saat ini berikut hal-hal yang saya curigai didukung oleh kondisi TVless di rumah kami:
1. Lincah dan banyak tingkah, serta koordinasi motorik yang bagus (kemampuan spasial Ganesh sudah
sangat bagus dan mampu memperkirakan ruang, sehingga bisa melintasi pinggir
celah sempit antara pintu pagar dengan saluran air atau mampu naik dan
melompati saluran air tanpa bantuan).
2. Sangat komunikatif (Ganesh bisa menirukan hampir semua kata-kata yang dia dengar pertama
kali dan mampu mengucapkan rangkaian kata sederhana seperti “Itu ada bola”,
“Kucing lari”, “Mama pipis”, “Mimik susu sapi moo, moo,” dsb.).
3. Daya ingat yang baik (baru saja saya dikejutkan karena Ganesh mampu mengenali sapi, padahal
dia melihat sapi yang sebenarnya hanya sekali pada usia 1 tahun atau 6 bulan
yang lalu, setelah itu dia hanya melihat sapi versi kartun pada kotak susu
UHT-nya).
4. Daya nalar dan daya tangkap yang
baik (Ganesh sudah mengerti konsep-konsep kata “juga” dan “ampun”
serta mengerti perintah sehingga selalu bilang, “Mama pipis (atau eek)” setiap
kali pipis atau eek, selalu membawa dengan hati-hati dan memberikan piring atau
gelas yang diambilnya kepada orang lain sambil bilang, “Pecah”, dsb.).
Kegiatan Ganesh: [7] Nemu kacang panjang; [8] Masak sambil nonton video; [9] Nyobain kupluk mama; [10] Main air; [11] Ngobrol sama Papa. |
Terlepas dari penilaian di atas bias karena Ganesh adalah
anak saya sendiri (ibu mana sih yang ga muji-muji anaknya), rasanya hal
tersebut cukup masuk akal dengan logika yang cukup sederhana; Ganesh memiliki lebih banyak waktu untuk
belajar semua hal itu tanpa TV!
Seperti yang kita ketahui, bahwa pertumbuhan dan perkembangan
anak sangat dipengaruhi oleh faktor nature
(bakat/genetis) dan nurture
(lingkungan). Faktor nature menurut
saya adalah suatu batasan bagi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak.
Sedangkan nature adalah kondisi yang
mempengaruhi sejauh mana bakat tersebut dapat dikembangkan. Pemahaman
sederhananya seperti ini; seorang anak bisa saja memiliki gen untuk menjadi
jangkung, tapi karena kekurangan nutrisi, ia tidak dapat mencapai tinggi badan
maksimalnya. Begitu juga dengan aspek perkembangan, seorang anak bisa saja
memiliki IQ yang tinggi, tapi tanpa belajar dia tidak akan bisa mengerjakan
(misalnya) soal-soal matematika yang bisa dikerjakan anak seusianya. Dalam hal
ini, TV termasuk dalam faktor nurture
tentunya.
Lebih lanjut, saya teringat pendapat Dr. Mehmet Oz (yang saya
kenal lewat The Oprah Winfrey Show) dan Michael F. Roizen dalam buku Raising
Your Child (terjemahan). Kedua dokter tersebut berpendapat bahwa mulai usia 1 tahun, ketika bayi mulai
mengenali lingkungan di sekitarnya, titik berat perkembangan otak beralih dari
pertumbuhan menjadi pemangkasan. Ibaratnya sebuah pohon, maka cabang-cabang
atau ranting yang tidak penting harus kita pangkas agar cabang-cabang yang
sehat dan penting bisa tumbuh dengan optimal. Lebih lanjut mereka menjelaskan
bahwa seorang anak akan memliki jumlah sinapsis* maksimal yang bisa dimilikinya
seumur hidup saat mencapai usia 1 tahun dan pada usia 3 tahun, jumlah itu akan
berkurang setengahnya. Sehingga, inilah pentingnya kenapa seorang anak harus mendapatkan rangsangan yang tepat sejak lahir hingga
usaia 3 tahun, yaitu agar ia bisa memangkas sel-sel saraf dengan bijak.
Mengenai pengaruh TV sendiri, penelitian membuktikan bahwa anak-anak kehilangan
sinapsis lebih cepat jika TV terus menerus menyala.
Menurut saya, TV bukan sepenuhnya tidak baik sih… Hanya saja, berkaitan dengan
perkembangan anak-anak, kita harus memperhatikan konten dari acara TV itu
sendiri. Acara seperti Indonesian Idol atau Sinetron tentu tidak tepat dalam
hal ini walaupun mungkin kita beranggapan bahwa bayi belum mengerti isinya;
karena dengan begitu sama saja dengan kita membiarkan bayi kita menumbuhkan
cabang-cabang yang tidak penting, seperti cara memegang mic atau menari di panggung :D. Selain itu, saya juga sependapat
dengan Oz dan Roizen yang menyebutkan bahwa bila seorang bayi ditaruh di depan TV seharian, maka hanya akan ada
sedikit sinapsis* di otaknya. Masuk akal kan, meskipun TV juga memberikan
rangsangan berpikir (meskipun sangat terbatas), tapi TV tidak mampu memberikan
unsur practice atau latihan, sehingga
bayi tidak bisa belajar cara berinteraksi, berbahasa/berkomunikasi ataupun
koordinasi gerakan.
Saya sih belum
terpikir kapan akan menyalakan kembali TV di rumah; karena kami sekeluarga
lebih bisa having fun without it
(selain juga malas mengurus pendaftaran kembali**). Tanpa TV, Ganesh bisa menikmati hari-harinya dengan bermain dengan
kucing, bercanda dengan orang-orang yang lewat di depan rumah, nge-godain ART kami (nggangguin masak, dsb.), lari-lari, main
petak umpet, dsb. Sedangkan saya dan suami juga belum merasakan urgensi
dari TV, walaupun saya suka ketinggalan gosip artis atau suami ketinggalan
siaran bola kesukaannya, (haha); tapi rasanya itu ga terlalu penting lagi. Setelah seharian ngantor, ngobrol berdua sambil mendengarkan kodok dan jangkrik itu
sangat romantis (hehe). Toh, berita dan segala macam informasi atau streaming
video dan musik bisa melalui internet, itung-itung
optimasi smartphone juga kan :D.
With Love,
Nian Astiningrum
-end-
Keterangan:
*sinapsis = sambungan/cabang antara satu sel saraf dengan
yang lainnya. Banyaknya sinapsis berkaitan dengan banyaknya pemahaman
seseorang.
Referensi:
Oz, Mehmet C. & Roizen, Michael F. 2010. Raising Your
Child: Panduan Orang Tua Cerdas bagi Perkembangan Optimal Buah Hati
(Terjemahan). Bandung: Penerbit Qanita
No comments :
Post a Comment
Hai! Terima-kasih sudah membaca..
Silakan tinggalkan komentar atau pertanyaan disini atau silakan DM IG @nianastiningrum for fastest response ya ;)